Akademisi Tuntut 7 Hal ke Pemerintah, Hentikan Penyesatan Sejarah hingga Pengangkatan Pejabat Tak Kompeten

Sebanyak lebih dari 330 akademisi dari berbagai universitas di Indonesia menyatukan suara dalam Aliansi Akademisi Peduli Indonesia untuk menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap krisis multi-dimensi yang melanda negeri.
Mereka mendesak pemerintah untuk segera melakukan pembenahan fundamental, menolak rencana darurat militer, dan mengembalikan kebijakan pada data ilmiah serta kebutuhan rakyat.
Dalam pernyataan sikapnya, aliansi yang dikoordinir oleh Prof. Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia (UI) ini menyoroti melebarnya jurang antara elit penyelenggara negara dan rakyat.
Mereka menilai para elit justru memperkuat kekuasaan dengan mengubah hukum dan merumuskan kebijakan serta alokasi anggaran untuk kepentingan kekuasaan semata.
"Semuanya dibuat tanpa dasar ilmiah dan bukti; juga tidak mengakomodasi realitas, pengalaman dan kebutuhan rakyat. Ini terbukti dari banyaknya program yang salah sasaran, rawan penyimpangan, dan cenderung bisa ditafsirkan sebagai ‘power build-up’," tulis pernyataan tersebut yang diterima.
Akibatnya, tiga pilar negara hukum dinilai melemah: keruntuhan demokrasi, melemahnya prinsip moral dan keadilan dalam kebijakan, serta melemahnya mekanisme kontrol akibat lembaga pengadilan yang gagal independen.
Aliansi juga menyoroti data Biro Pusat Statistik yang membingungkan dan berbeda dengan lembaga survei independen, serta kebijakan pemekaran pajak di daerah yang memberatkan.
Dampaknya, kehidupan ekonomi rakyat memprihatinkan dengan kemiskinan yang meningkat tajam, daya beli menurun, dan PHK meluas. "Kondisi seperti ini membuat rakyat mulai kehilangan ‘trust’, kehilangan harapan dan marah. Tidak terelakkan jika keadaan seperti ini melahirkan protes dan ‘amok’," bunyi rilis itu.
Merespons kondisi tersebut, Aliansi Akademisi mendesak tujuh langkah konkret kepada pemerintah. Tuntutan pertama adalah restrukturisasi kabinet dan pejabat lembaga pemerintahan agar kompeten, ramping, efisien, dan tidak memberatkan keuangan negara.
"Termasuk menghentikan pengangkatan para pejabat negara yang tidak didasarkan pada kompetensi, profesionalisme, dan integritas tinggi, demi memperkuat dan memperluas kekuasaan semata," desak mereka.
Kedua, aliansi mendesak perbaikan kebijakan politik anggaran yang salah sasaran. Mereka menyarankan sumber keuangan negara seharusnya berasal dari perampasan aset koruptor dan pengusaha sumber daya alam, bukan dari pajak rakyat. Alokasi anggaran juga harus diprioritaskan untuk pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan sebagai ‘entitlement’, bukan ‘charity’, serta meninjau ulang gaji dan fasilitas berlebihan untuk anggota legislatif dan direksi BUMN.
Ketiga, mereka mendesak pencabutan berbagai instrumen hukum dan kebijakan yang dibuat instan dan bermuatan kepentingan kekuasaan. Keempat, penguatan pemberantasan korupsi dan gratifikasi.
Kelima, aliansi secara tegas menolak pemberlakuan darurat militer atau sipil. "Tidak memberikan darurat militer atau sipil yang berakibat tindakan represif terhadap gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan rakyat. Tindakan tegas hanya ditujukan secara selektif hanya kepada penyusup yang memprovokasi tindakan anarkis dan pengrusakan," tegas pernyataan itu.
Keenam, menghentikan upaya menyesatkan sejarah bangsa. Ketujuh, mencegah berbagai bentuk diskriminasi rasial dan kekerasan berbasis gender.
Dukungan untuk seruan ini datang dari akademisi ternama seperti Prof. Todung Mulya Lubis (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo (UI), Prof. Franz Magnis-Suseno (STF Driyarkara), Prof. Gandes Retno Rahayu (UGM), Prof. Susi Dwi Harijanti (Unpad), Prof. Damayanti Buchori (IPB), dan ratusan nama lainnya dari UI, UGM, Unpad, ITB, IPB, Unhas, serta berbagai perguruan tinggi lain di seluruh Indonesia.