Tetap Optimis Mendidik Anak di Tengah Gejolak Politik, Ini Kata Psikolog

Situasi politik di Indonesia belakangan ini kerap memunculkan keresahan.
Orangtua pun tak jarang merasa cemas memikirkan masa depan bangsa, apalagi saat anak-anak ikut terpapar kericuhan di media maupun lingkungan sekitar.
Namun, menurut Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., anak justru membutuhkan ketenangan dan harapan dari orangtuanya, bukan kecemasan berlebih.
“Wajar bila orangtua merasa resah dengan kondisi sosial-politik. Tapi anak membutuhkan harapan dari orangtuanya. Daripada menularkan kecemasan, lebih baik fokus pada hal yang bisa kita kendalikan di rumah,” jelas Vera kepada Kompas.com, baru-baru ini.
Lingkungan keluarga sebagai fondasi harapan
Vera menekankan, keluarga merupakan ruang pertama bagi anak untuk belajar nilai hidup.
Ketika orangtua mampu menghadirkan suasana positif, anak pun akan memiliki bekal yang kuat untuk menghadapi dinamika sosial di luar rumah.
“Perubahan besar sering dimulai dari lingkup kecil, yaitu keluarga. Jadi fokuslah membentuk anak menjadi individu yang berintegritas, jujur, dan peduli,” ungkap Vera.
Dengan begitu, anak bisa tumbuh dengan optimisme, meski kondisi sosial-politik di luar tampak penuh gejolak.
Peran budi pekerti sejak dini
Pendidikan budi pekerti, menurut Vera, merupakan dasar pembentukan karakter anak.
Nilai empati, sopan santun, dan tanggung jawab perlu dikenalkan sejak dini agar mereka tumbuh menjadi pribadi rendah hati dan peka terhadap lingkungan.
“Tanpa bekal budi pekerti, anak mudah terjebak pada sikap arogan karena merasa dunia berpusat pada dirinya,” ujar Vera.
Melalui budi pekerti, anak belajar bahwa setiap tindakan memiliki dampak pada orang lain. Kesadaran inilah yang menumbuhkan empati serta rasa tanggung jawab sosial.
Cara sederhana menjaga optimisme anak
Vera membagikan beberapa cara praktis yang bisa dilakukan orangtua di rumah untuk menjaga optimisme anak, di antaranya:
- Validasi perasaan anak
Saat anak terlihat cemas, akui dan tenangkan perasaannya. Misalnya dengan mengatakan, “Kamu takut ya lihat orang marah-marah?”
- Gunakan bahasa sederhana
Jelaskan bahwa konflik sering muncul karena perbedaan pendapat, tetapi cara marah-marah bukanlah contoh yang baik.
- Berikan alternatif positif
Tunjukkan bahwa perbedaan bisa diselesaikan dengan tenang, saling mendengar, dan saling menghargai.
- Jadi teladan sehari-hari
Anak lebih banyak belajar dari contoh nyata, seperti melihat orangtua ramah kepada tetangga atau tetap tenang saat menghadapi masalah.
Bekal untuk masa depan
Vera menegaskan, membekali anak dengan empati dan optimisme merupakan investasi jangka panjang.
Anak yang terbiasa diajarkan nilai-nilai ini akan lebih mudah menjalin hubungan sehat, dipercaya orang lain, dan bijak dalam mengambil keputusan.
“Empati dan kemampuan mengelola perbedaan pendapat adalah keterampilan hidup penting agar anak bisa tumbuh menjadi individu yang peduli dan bertanggung jawab,” pungkasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.