Pernikahan Bukan Perlombaan, Kapan Waktu yang Tepat untuk Menikah? Ini Kata Psikolog

Pernikahan sering dianggap sebagai pencapaian hidup yang harus diraih pada usia tertentu. Tak jarang, rasa takut ketinggalan alias fear of missing out (FOMO) membuat sebagian orang terburu-buru melangkah ke pelaminan.
Namun, Psikolog Klinis Ratih Ibrahim, M.M. mengingatkan, pernikahan bukan perlombaan yang harus disegerakan.
“Saya sebagai psikolog sekaligus bagian dari Kementerian Kesehatan, kami tidak mendorong pernikahan muda. Perlu diingat, pernikahan itu bukan lagi perlombaan,” kata Ratih dalam acara Cussons Baby Peluncuran Kemasan Baru di Ganara Art Space Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
Pernikahan bukan lagi tentang stigma
Pernikahan tak lagi acuan kesuksesan seseorang
Psikolog Klinis Ratih Ibrahim, M.M dalam acara peluncuran kemasan baru Cussons Baby di Ganara Art Space Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
Dulu menikah di usia matang kerap diiringi stigma negatif. Perempuan yang belum menikah dianggap ketinggalan zaman atau bahkan diragukan kesempatannya untuk berumah tangga.
Berbeda dengan era sekarang, lanjut Ratih, pandangan itu sudah mulai bergeser. Ia menilai, pernikahan bukan lagi acuan kesuksesan hidup seseorang.
“Kalau zaman dulu perempuan menikah di usia matang dianggap enggak akan menikah dan muncul berbagai stigma lainnya, tapi saya rasa di era sekarang ini pernikahan jadi bagian dari pilihan hidup tiap individu,” jelasnya.
Artinya, keputusan menikah tidak bisa lagi diukur dari usia atau desakan sosial, melainkan kesiapan pribadi.
Menikah sebaiknya dilakukan ketika sudah siap
Pernikahan tak cuma soal cinta
Hindari terburu-buru menikah hanya karena takut ketinggalan. Psikolog menegaskan, pernikahan sebaiknya dilakukan saat benar-benar siap lahir batin.
Ratih menekankan, menikah sebaiknya dilakukan ketika seseorang sudah siap, baik secara fisik, emosional, maupun sosial.
Bukan hanya soal cinta, melainkan juga tentang kesiapan menghadapi konsekuensi kehidupan pernikahan.
“Menikahlah ketika sudah siap, umur sudah cukup matang, sehat lahir dan batin, dan matang secara sosial dan ekonomi agar siap menghadapi kehidupan pernikahan,” jelasnya.
Menurutnya, kedewasaan tersebut penting agar pasangan mampu menghadapi dinamika rumah tangga dengan lebih stabil dan tidak mudah goyah.
Jangan abaikan red flag pernikahan
Pernikahan bukan sekadar cepat atau lambat
Hindari terburu-buru menikah hanya karena takut ketinggalan. Psikolog menegaskan, pernikahan sebaiknya dilakukan saat benar-benar siap lahir batin.
Menikah juga bukan sekadar tentang cepat atau lambat, tetapi tentang kesiapan menghadapi pasangan dengan segala sisi baik dan buruknya.
Ratih mengingatkan agar calon pengantin tidak menutup mata terhadap tanda bahaya atau red flag.
“Menikah itu sebuah perjalanan dari kehidupan kita, termasuk punya anak. Jadi tidak perlu cepat-cepat, apalagi kalau sudah tahu pasangannya atau diri sendiri banyak red flag,” ujarnya.
Red flag bisa muncul dari perilaku pasangan ataupun diri sendiri. Perilaku ini membuat hubungan tidak sehat dan bisa berasal dari luka batin pribadi yang belum pulih.
Pentingnya sembuhkan luka masa lalu sebelum menikah
Luka batin bisa pengaruhi kualitas hubungan
Hindari terburu-buru menikah hanya karena takut ketinggalan. Psikolog menegaskan, pernikahan sebaiknya dilakukan saat benar-benar siap lahir batin.
Ratih menambahkan, salah satu hal yang kerap terabaikan adalah luka batin atau trauma yang masih membekas. Meski tidak terlihat, hal ini bisa memengaruhi kualitas hubungan suami istri nantinya.
“Padahal luka, trauma, dan emotional memory yang masih membekas itu harus dibenahi dulu,” kata Ratih.
Ia menekankan, luka fisik mungkin lebih mudah diukur karena ada tanda-tanda penyembuhan. Namun, berbeda dengan luka emosional yang tidak kasat mata.
“Luka fisik itu masih bisa kita lihat progres sembuhnya, tetapi emotional memory itu adanya di dalam ingatan dan pengalaman batin, sehingga sembuh atau tidaknya itu sulit mengukurnya,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengimbau, pernikahan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan hidup panjang yang akan dijalani bersama pasangan.
Oleh karena itu, kesiapan, kematangan, dan keberanian untuk menghadapi tantangan jauh lebih penting daripada sekadar mengejar waktu.
Dengan kesadaran ini, diharapkan generasi sekarang bisa lebih bijak menimbang keputusan menikah. Bukan karena takut ketinggalan, melainkan karena benar-benar siap menjalani perjalanan rumah tangga.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!