Kisah Tumini dan Perjuangannya 15 Tahun Hidup di Ponten Umum

Di balik riuhnya kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim) tersimpan kisah perjuangan seorang perempuan bernama Tumini (47), yang selama 15 tahun terakhir menjadikan sebuah toilet (ponten) umum sebagai rumahnya.
Ponten di kawasan Taman Lumumba, Kecamatan Wonokromo, itu bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga saksi bisu jatuh bangunnya hidup Tumini.
Ia mulai menempati bangunan tersebut sejak 2010.
Dengan keterbatasan, Tumini tetap berupaya menjaga kebersihan dan fungsi toilet sambil menanggung sendiri biaya listrik dan kebutuhan dasar lainnya.
Namun, semuanya berubah sejak videonya yang tinggal di ponten viral pada awal Juli 2025.
Pemerintah Kota Surabaya akhirnya turun tangan dan membersihkan area tersebut.
“Ya sudah menerima saja. Karena nyoba nego pun sudah nggak bisa. Saya butuh uang buat makan. Jadi jualan saja di rumah sambil momong cucu,” kata Tumini, dikutip , Jumat (5/7/2025).
Mencoba bertahan hidup
Tumini (47) saat menjaga ponten umum di Taman Lumumba, Surabaya, Jumat (4/7/2025)
Ponten yang selama ini menjadi satu-satunya tempat berlindung kini tidak lagi bisa diharapkan.
Tumini tidak memiliki pekerjaan tetap dan hanya mengandalkan tempat itu untuk bertahan hidup.
Harapannya untuk bisa tetap berada di sana pun pupus setelah pemerintah memutuskan menertibkan area tersebut.
“Sudah tidak bisa berharap apa-apa. Wong sudah dibersihkan semua. Mau bagaimana lagi,” ucap Tumini, pasrah.
Di tengah ketidakpastian, Tumini mencoba mengalihkan fokusnya pada usaha kecil-kecilan.
Ia berniat menjual gorengan dari rumah sebagai sumber penghidupan.
Baginya, lokasi rumah lebih menjanjikan karena ramai dan tidak berisiko digusur.
“Kalau jual gorengan, karena kalau di depan rumah sepertinya ramai. Banyak orang yang nyari kalau pagi-pagi. Kalau jual di pinggir jalan, saya takut digusur Satpol PP,” tuturnya, dikutip , Sabtu (6/7/2025).
Janji gerobak dan modal usaha

Ponten umum milik Jasa Tirta yang dikelola Tumini, warga Ngagel Surabaya sejak 2010, Jumat (4/7/2025!
Sebelumnya, pihak kelurahan sempat menawarkan tempat berjualan di Taman Asreboyo, namun ia menolaknya karena lokasi yang terlalu jauh dan sepi.
Tumini mengaku sudah merasa nyaman tinggal di dekat ponten, meskipun tidak layak disebut sebagai tempat tinggal.
Dalam hatinya, masih ada secercah harapan.
Tumini berharap janji camat setempat untuk memberikan gerobak dan modal usaha bisa segera terealisasi.
“Semoga saja ada bantuan dan gerobaknya jadi,” katanya.
Di balik ketegaran wajahnya, tersimpan rasa kecewa karena belum pernah menerima bantuan sosial, kecuali saat masa pandemi.
Tumini juga sempat mengajukan permintaan ganti rugi atas biaya listrik, pompa air, dan sumur yang selama ini ia tanggung, meskipun belum mendapatkan kepastian dari pihak berwenang.
Warga sekitar dan pemerintah sebelumnya sudah lama mengingatkan bahwa toilet umum tidak semestinya dijadikan hunian.
Namun bagi Tumini, ponten adalah satu-satunya tempat berlindung selama bertahun-tahun.
Kini, dengan kondisi yang serba terbatas, ia memilih untuk tidak lagi memperjuangkan ponten.
Fokusnya saat ini adalah bertahan hidup dan memberikan nafkah dengan cara yang bisa ia jangkau.