Belasan Tahun Tinggal di Ponten Umum, Tumini Ternyata Pasang Listrik dan Sumur Secara Mandiri

Tumini (47), warga Kelurahan Ngagel, Kecamatan Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya yang selama ini berada di dalam ponten umum milik Perum Jasa Tirta (PJT) di kawasan Taman Ngagel Tirto, Surabaya.
Ia berharap pemerintah memberikan ganti rugi pemasangan listrik dan sumur yang telah ia bangun sejak pertama kali mengelola fasilitas umum tersebut pada 2010.
Ponten umum tersebut awalnya disewa Tumini dan keluarganya dari PJT untuk dikelola sebagai toilet umum.
Namun, dalam lima tahun terakhir, tempat itu juga dijadikan sebagai hunian oleh keluarga Tumini.
Setelah kisahnya viral pada Rabu (2/7/2025), Pemerintah Kota Surabaya bersama jajaran terkait langsung melakukan sterilisasi area ponten umum dan melarangnya digunakan sebagai tempat tinggal.
“Tadi Pak Lurah ke sini, katanya enggak boleh lagi, minta digratiskan,“ ujar Tumini saat ditemui Kompas.com, Kamis (3/7/2025).
Pemerintah juga meminta agar penggunaan toilet tidak lagi dipungut biaya, mengingat fasilitas itu merupakan milik publik. Sementara itu, perabot milik Tumini telah dipindahkan dari lokasi ponten dan dikembalikan ke rumah.
Harap Dapat Ganti Rugi
Meskipun menyadari bahwa ponten umum tidak diperuntukkan sebagai tempat tinggal, Tumini mengaku bersedia meninggalkan lokasi tersebut.
Namun, ia berharap agar kerugian yang telah dikeluarkannya selama ini bisa diganti, mengingat ia telah memasang instalasi listrik dan membangun sumur secara mandiri.
“Kalau sudah enggak boleh, tidak apa-apa. Tapi maksud saya, listrikku diganti, pasangnya dulu Rp 1 juta, pompa air Rp 1,5 juta, dan sumur sekitar Rp 750 ribu,” tutur Tumini.
Ia menjelaskan bahwa sumur sedalam 17 meter dibangun sejak awal mengelola ponten umum tersebut.
Bila pemerintah bersedia memberikan ganti rugi, uang itu akan digunakan untuk menyambung hidup dan membayar utang.
“Kalau bisa, kan uangnya bisa buat tambahan untuk usaha nanti. Karena saya masih punya pinjaman harian,” katanya.
Riwayat Pembayaran Sewa
Tumini terakhir kali membayar sewa ponten umum kepada Jasa Tirta pada 2021. Sejak awal mengelola fasilitas ini, ia rutin membayar biaya sewa, meski tak selalu tepat waktu karena kondisi ekonomi.
“Setelahnya, karena keterbatasan ekonomi, kadang bayar tiga tahun sekali atau dua tahun sekali. Baru mulai 2017 itu aktif tiap tahun bayar,” jelasnya saat diwawancarai Kompas.com, Jumat (4/7/2025).
Ia menyampaikan bahwa pembayaran dilakukan secara langsung ke kantor Jasa Tirta di Jalan Karah Nomor 6, Kecamatan Jambangan, Surabaya.
Namun, pada 2022, saat hendak kembali membayar, uang yang ia bawa ditolak.
“Ditolak, nggak boleh bayar. Terakhir bayar 2021, tahun 2022 pas ke sana mau bayar ditolak,” ujarnya.
Menurut penuturan Tumini, petugas menyatakan bahwa tidak ada lagi biaya operasional yang harus dibayarkan dan memintanya menunggu informasi lebih lanjut.
“Sampai 2025 ini belum bayar lagi karena waktu itu disuruh nunggu info saja, nanti akan dikabari,” bebernya.
Riwayat Kerja Sama dengan Jasa Tirta
Tumini tidak mengetahui secara pasti mengapa suaminya saat itu mendapat izin dari PJT untuk mengelola ponten umum sejak 2010. Yang ia tahu, alm. suaminya dipercaya langsung oleh PJT untuk mengelola fasilitas tersebut.
“Ya disuruh saja, pokoknya almarhum suami saya dipercaya untuk mengelola. Gitu aja,” tuturnya.
Selama mengelola ponten umum di kawasan Taman Lumumba, Tumini mengaku telah mengeluarkan total sekitar Rp 15 juta untuk pembayaran sewa ke Jasa Tirta.
“Ada paling kalau sampai Rp 15 juta,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Sub Divisi Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas 3 PJT I, Teguh Bayu Aji, membenarkan bahwa pada periode 2018–2021 memang ada perjanjian pembayaran sewa sebesar Rp 1.250.000 per tahun.
“Perjanjian ini dibuat sebagai bentuk pengamanan sempadan agar tidak dijadikan hak milik oleh warga yang menempati,” ujar Teguh.
Ia menambahkan bahwa sejak 2022, PJT I tidak lagi menarik biaya pemanfaatan lahan karena dianggap tidak lagi memiliki kemanfaatan seperti sebelumnya.
“Memang ada biaya pemanfaatan lahan sampai tahun 2021, tetapi setelah itu sudah tidak ada, mungkin dengan pertimbangan kemanfaatannya sudah tidak seperti dulu,” imbuhnya.
Harapan Usaha dan Dukungan Pemerintah
Sebagai upaya untuk menyambung hidup, Tumini juga berharap dapat bantuan berupa gerobak dagang dan tempat usaha yang layak.
“Saya sudah sampaikan ke Pak Lurah. Katanya akan dipikir-pikir. Karena kalau bantuan rombong, katanya ada warga yang malah dijual dua bulan setelahnya. Tapi kan tidak semua gitu. Saya sangat butuh kerjaan. Kalau dijual, saya dapat penghasilan dari mana?” keluh Tumini.
Sementara itu, Lurah Ngagel, Junaedi, mengatakan belum menerima permintaan resmi dari Tumini terkait ganti rugi, sehingga belum bisa memberikan tanggapan.
“Ya, namanya harapan orang kan. Tapi mohon maaf kalau informasi itu nggak ada disampaikan ke kami,” ucapnya.
Pihak kelurahan, lanjut Junaedi, telah melakukan pendekatan agar ponten umum tidak dijadikan tempat tinggal. Ia menyarankan agar Tumini mengikuti program pemberdayaan UMKM yang tersedia di kelurahan.
“Kami ada pemberdayaan UMKM. Kadang kami punya event, kalau mau ikut, silakan. Atau pas senam lansia di Taman Asreboyo, ibunya bisa jualan di situ, silakan,” kata Junaedi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul