Rendahnya HET Beras Diduga Jadi Pemicu Munculnya Beras Oplosan

Polemik beras oplosan muncul setelah Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan pemeriksaan 212 merek beras di 10 provinsi.
Ditemukan sebanyak 85,56 persen beras premium tidak dijual sesuai standar mutu, 59,78 persen di antaranya dijual melebihi harga eceran tertinggi (HET), serta 21,66 persen memiliki berat lebih rendah daripada yang tertera di kemasan.
Menurut Ahli Teknologi Industri Pertanian, IPB University, Profesor Tajuddin Bantacut, kemunculan beras oplosan sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya HET beras medium.
Terakhir, kata Tajuddin, harga Gabah Kering Panen (GKP) yang ditetapkan oleh pemerintah menyentuh angka Rp 6.500 per kilogram (Kg) sementara HET beras medium sebesar Rp 12.500-13.500 per Kg dan HET beras premium dipatok dengan kisaran Rp 14.900-15.800 per Kg.
“Dengan demikian, maka harga bahan bakunya itu kira-kira sudah Rp 11.300-Rp11.400. Kalau ditambah ongkos pengolahannya Rp 500, ongkos distribusi, pemasarannya Rp 300, keuntungannya 10 persen dari harga bahan baku sebesar Rp 650, maka harga tertingginya harusnya sudah Rp 13.000,” kata Tajuddin saat dihubungi Kompas.com, Minggu (13/7/2025).
Dengan demikian, menurut dia, HET beras seharusnya sudah mencapai Rp 15.000-16.000
“Saya pikir, itu yang harus diperbaiki supaya orang kalau berbisnis itu kan tujuannya mencari mencari keuntungan. Kalau dia dengan bisnis normal sudah dapat untung, tidak akan melakukan pemalsuan (oplosan) seperti sekarang,” tambahnya.
Kaji ulang HET beras
Lebih lanjut, Tajuddin mengatakan, pemerintah seharusnya mengkaji ulang penetapan harga GKP dan HET beras saat ini.
Menurut dia, pemerintah mesti melakukan penyesuaian harga GKP Rp 6.500 dengan kadar air dalam beras, ditambah biaya pengolahan, pemasaran, dan keuntungan.
“Pemerintah mengatakan, harga GKP berapa pun kualitasnya, harus dihargai Rp 6.500, padahal kadar air beras berbeda-beda. Rata-rata 24-25 persen, tetapi ada yang mencapai 30 persen,” ujarnya.
Sehingga HET beras bisa berubah-ubah, menyesuaikan total harga pengolahan, bahan baku, dan keuntungan.
Alih-alih menekan HET beras, pemerintah semestinya memberikan subsidi bagi masyarakat yang tidak mampu membeli beras. Bukan mencekik produsen beras dengan penetapan harga jual yang rendah, sementara harga bahan baku terbilang mahal.
“Karena itu, pemerintah harus mengkaji ulang bagaimana menentukan harga GKP dengan cara yang baik sehingga para pihak, baik produsen maupun konsumen, serta pelaku di antaranya, merasa nyaman,” ujar dia.
Jangan simpan beras Bulog di gudang
Hal lain, Tajuddin menyarankan agar pemerintah meningkatkan stok beras Bulog, lalu menjualnya di pasaran.
Sejauh ini, pemerintah memiliki stok beras sekitar 3,5-4 juta ton di gudang Bulog, tetapi tidak membantu menstabilkan mahalnya beras di pasaran.
“Kenapa? Karena Bulog atau pemerintah yang menyimpan beras di gudang, tidak dijual di pasar sehingga simpanan ini tidak memengaruhi harga pasar,” kata Tajuddin.
Ilustrasi beras di gudang Bulog.
Semestinya, pemerintah melalui Bulog menjual beras di pasar dengan harga yang ditentukan. Namun, saran Tajuddin, jangan pula menetapkan harga beras Bulog terlalu murah.
“Bulog menjual beras terlalu murah kan berarti disubsidi oleh pemerintah. Pengusaha kan tidak ada yang subsidi. Seharusnya pemerintah memberikan subsidi kepada konsumen yang memang tidak bisa beli beras,” saran dia.
Stok beras Bulog di gudang juga harus ditambah. Setidaknya, jumlah beras minimum sekitar 20 persen dari total konsumsi atau total produksi, yakni sekitar 7-9 ton beras Bulog.
Beras tersebut selanjutnya bisa dijual ke pasaran sesuai harga yang ditetapkan. Dengan demikian, harga beras Bulog akan menjadi referensi dan penstabil harga di pasaran.
“Jadi kalau harga beras lain di pasaran cukup mahal, enggak jadi masalah karena diikuti mutu yang bagus. Selain itu, masyarakat juga memiliki pilihan untuk membeli beras Bulog atau lainnya,” kata Tajuddin.