Tak Hanya Timbulkan Kerugian Secara Ekonomi, Ini Bahaya Tersembunyi yang Mengancam Kesehatan dari Praktik Beras Oplosan

Tak Hanya Timbulkan Kerugian Secara Ekonomi, Ini Bahaya Tersembunyi yang Mengancam Kesehatan dari Praktik Beras Oplosan

Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menekankan bahwa maraknya praktik pengoplosan beras tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat.

Ia mengingatkan bahwa masalah beras oplosan harus dipandang sebagai isu pangan nasional yang berkaitan erat dengan keamanan konsumsi publik (food safety).

Menurut Rokhmin, dampak negatif dari pengoplosan beras sangat luas. Secara ekonomi, konsumen dirugikan karena membeli beras kualitas medium dengan harga dan label premium.

"Mereka membayar lebih mahal dari kualitas yang didapat," ujar Rokhmin Dahuri, Jumat (8/8).

Secara kesehatan, beras oplosan juga berpotensi berbahaya. Rokhmin menjelaskan bahwa beras premium memiliki standar mutu tertentu, seperti kadar air maksimal 14% dan batasan patahan butir tidak lebih dari 9%.

Jika standar ini tidak terpenuhi namun beras tetap dijual sebagai premium, maka kandungan gizi dan keamanannya bagi konsumen diragukan.

"Kedaulatan pangan tidak hanya soal kuantitas, tapi juga kualitas dan keamanan. Ini menyangkut nutrisi yang dikonsumsi masyarakat," tegasnya.

Dampak buruk ini juga dirasakan oleh petani. Menurut Rokhmin, praktik pengoplosan tidak memberikan keuntungan bagi petani.

Meskipun harga beras di pasaran terus naik, harga gabah justru tetap ditekan pada angka Rp6.500 per kilogram. Ia mengkritik situasi ini, terutama saat pemerintah mengklaim stok beras Bulog tertinggi dalam 57 tahun terakhir.

Rokhmin juga menduga bahwa stok beras yang diklaim tinggi tersebut bukan berasal dari gabah lokal, melainkan sisa impor pemerintahan sebelumnya sebanyak 1,5 juta ton. Ia mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam menyampaikan data kepada publik.

"Pemerintah harus jujur. Kejujuran adalah sumber kebaikan, ketidakjujuran adalah jalan menuju kehancuran," kata politisi Fraksi PDIP itu.

Ia juga menyoroti masalah penahanan distribusi beras oleh Bulog, padahal kapasitas gudang sudah penuh dan sebagian beras mulai membusuk. Rokhmin melihat adanya indikasi saling lempar tanggung jawab antara Bapanas, Bulog, dan Kementerian Pertanian.

Saat melakukan sidak di gudang-gudang beras di beberapa kota, Rokhmin menemukan banyak beras yang mulai rusak.

"Kami sudah minta agar segera dilepas ke pasaran, karena ini bukan uang APBN, tapi pinjaman komersial dari bank Himbara," jelasnya.

Rokhmin menilai kebijakan menahan distribusi beras dan penetapan HET yang tidak seimbang dengan harga gabah tidak berpihak pada rakyat. Ia menduga kebijakan ini dimanfaatkan oleh mafia pangan untuk menaikkan harga.

"Jangan-jangan di situlah kerja mafia. Menahan beras agar harga naik, sementara rakyat dan petani menjadi korban," tutupnya.