Pakar UGM Ungkap Bahaya Beras Oplosan: Pemutih, Plastik, hingga Pewarna Sintetis

Maraknya peredaran beras oplosan di pasaran memicu kekhawatiran masyarakat.
Praktik mencampur beras dengan bahan kimia berbahaya seperti pemutih, pewarna sintetis, bahkan plastik sintetis dinilai membahayakan kesehatan publik dan mencerminkan lemahnya pengawasan distribusi pangan.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc, menjelaskan bahwa meskipun istilah “beras oplosan” tidak secara eksplisit disebut dalam regulasi, praktik mencampur beras dengan bahan non-pangan tetap bisa dijerat secara hukum karena melanggar ketentuan mutu dan keamanan pangan.
“Secara hukum memang tidak ada istilah 'beras oplosan', tapi praktik ini bisa ditindak dengan merujuk pada Undang-Undang Pangan karena merugikan konsumen,” ujar Sri Raharjo, Rabu (23/7/2025), dilansir dari laman UGM.
Mengandung klorin, pewarna, dan plastik
Menurut Sri Raharjo, beberapa zat kimia yang kerap ditemukan dalam beras oplosan di antaranya klorin (pemutih), pewangi buatan, dan parafin atau plastik sintetis.
Bahan-bahan tersebut digunakan untuk menutupi mutu beras yang rendah agar tampak lebih putih dan menarik secara visual.
“Klorin misalnya, sering digunakan untuk membuat warna beras tampak lebih cerah. Padahal, zat ini bersifat karsinogenik dan sangat berbahaya bila dikonsumsi dalam jangka panjang,” jelasnya.
Risiko kesehatan serius: dari kanker hingga kerusakan organ
Sebagai Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Sri Raharjo menegaskan bahwa paparan terus-menerus terhadap bahan kimia dalam beras oplosan dapat menimbulkan risiko kanker, serta kerusakan organ vital seperti hati dan ginjal.
Ia menyebut bahwa zat klorin dapat membentuk trihalometan, senyawa yang dikategorikan sebagai karsinogen oleh International Agency for Research on Cancer (IARC).
Sementara itu, pewarna sintetis seperti Rhodamin B bisa menyebabkan sirosis hati atau gagal ginjal jika terakumulasi di tubuh.
“Konsumsi rutin akan menyebabkan akumulasi bahan kimia dalam tubuh, dan organ-organ detoksifikasi seperti hati serta ginjal akan bekerja ekstra keras. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berujung pada kerusakan permanen,” tegas Sri Raharjo.
Mencuci dan memasak tak selalu efektif hilangkan zat berbahaya
Masyarakat sering kali menganggap bahwa mencuci atau memasak beras bisa menghilangkan kandungan kimia berbahaya. Namun, menurut Sri Raharjo, tidak semua senyawa dapat hilang melalui proses tersebut.
“Beberapa zat memang larut dalam air, tapi banyak zat berbahaya yang tetap bertahan meski dimasak dalam suhu tinggi. Residu plastik atau klorin misalnya, tetap tertinggal dalam beras,” jelasnya.
Tips membedakan beras alami dan oplosan di rumah
Sebagai upaya edukasi, Sri Raharjo membagikan cara sederhana untuk mengidentifikasi ciri-ciri beras oplosan.
Menurutnya, konsumen perlu waspada terhadap warna beras yang terlalu putih, aroma kimia yang menyengat, serta hasil uji sederhana menggunakan air atau api.
“Kalau beras direndam dan air berubah warna, atau saat dibakar mengeluarkan bau plastik, patut dicurigai beras itu dicampur bahan kimia,” ujarnya.
Perlu pengawasan distribusi dan edukasi konsumen
Sri Raharjo mendorong penguatan sistem pengawasan pangan, terutama di tingkat distributor dan pasar tradisional. Menurutnya, sanksi hukum saja tidak cukup untuk mencegah praktik curang ini.
“Pemerintah perlu menerapkan sertifikasi distribusi pangan yang ketat, serta mengedukasi pedagang dan konsumen. Pemanfaatan teknologi pendeteksi cepat juga bisa memperkuat sistem pengawasan kita,” tegasnya.
Sebagai penutup, Sri Raharjo mengimbau masyarakat untuk lebih teliti dalam memilih sumber pangan, khususnya beras, yang dikonsumsi sehari-hari.
“Pilih beras dari sumber terpercaya, perhatikan warna dan aroma alaminya. Jika memungkinkan, konsumsi beras berlabel SNI dan lakukan diversifikasi pangan seperti mengonsumsi umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat,” pungkasnya.