Saat Harga Beras Mahal, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi

pangan nasional pengganti beras, bahan pangan pengganti nasi, pangan pengganti nasi, alternatif pangan lokal selain beras, alternatif pangan lokal pengganti beras, Saat Harga Beras Mahal, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi

Lonjakan harga beras di pasaran membuat sebagian besar masyarakat resah. Padahal, Indonesia memiliki beragam sumber pangan lokal yang bisa diolah sebagai pengganti nasi. 

Dari jagung, pisang, hingga ubi, para ahli gizi dan chef sepakat bahwa kekayaan pangan ini bukan hanya mampu menjadi solusi di tengah mahalnya beras, tetapi juga menawarkan manfaat gizi yang tak kalah baik.

Seperti diberitakan Kompas.com (24/8/2025) Kompas.com mendapati pasokan beras menipis di pasar tradisional dan ritel modern Jakarta Selatan. Harga pun naik tajam. 

Di Superindo Mayestik, Kebayoran Baru, rak beras tampak kosong. Satu-satunya yang tersedia hanya merek Topi Koki, kemasan 5 kilogram, dijual Rp 140.790.

Namun, ironinya, pemerintah justru mengklaim stok beras nasional aman hingga akhir tahun.

Chef sekaligus SW & CO Hospitality Consultant, PT Suwanta Indonesia Maju, Suwanta mengatakan bahwa permasalahan krisis pangan di Indonesia bukanlah isu yang baru muncul kemarin sore.

Namun, sudah terjadi sebelum isu tingginya harga beras bermunculan seperti saat ini.

Merujuk kepada buku "Krisis Pangan: Sejarah, Penyebab, dan Jawaban Dunia" karya Andreas Maryoto (2019), krisis pangan pada dasarnya bukan hanya karena bencana alam, melainkan juga karena kesalahan pengelolaan dalam urusan pangan.

Demikian pula yang terjadi pada sejarah krisis pangan di Nusantara mulai dari Aceh, Mataram, dan Banten.

Melihat hal ini, chef hingga ahli gizi yang Kompas.com hubungi pada Selasa (26/8/2025) sepakat menilai bahwa masyarakat Indonesia, khususnya yang mendapatkan harga beras melambung dari biasanya, perlu melihat lebih luas bahwa pangan berupa karbohidrat di Indonesia tidak terbatas hanya berpatokan pada beras.

Menghadapi konsep ketergantungan pada beras

pangan nasional pengganti beras, bahan pangan pengganti nasi, pangan pengganti nasi, alternatif pangan lokal selain beras, alternatif pangan lokal pengganti beras, Saat Harga Beras Mahal, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi

Ilustrasi nasi campur Gorontalo yang umumnya mencakup nasi putih atau nasi jagung, dengan aneka lauk.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memegang prinsip "belum disebut makan jika belum menyantap nasi". Padahal sejatinya, kebutuhan karbohidrat untuk tubuh tidak harus selalu dari nasi.

Chef yang berkutat di gastronomi Indonesia dan kerap mengangkat masakan Indonesia, Ragil Imam Wibowo, atau akrab disapa Chef Ragil mengatakan bahwa pada dasarnya Indonesia kaya akan pangan karbohidrat. Namun, sayangnya hampir sebagian besar masyarakat Indonesia terpaku pada beras.

"Itu adalah masalah bahasa marketing yang dipakai dari zaman dulu, bahwa orang Indonesia harus makan beras (nasi). Tidak begitu, orang Indonesia bisa makan sagu, makan singkong, bisa makan ubi, yang mana jauh lebih sehat daripada beras kalau secara gizinya," kata Ragil kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (26/8/2025).

Dosen Gizi di UIN Sunan Ampel Surabaya (UNISA) sekaligus Ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) kota Surabaya Laili Rahmawati menuturkan, jika melihat kondisi pada zaman dahulu, apabila sudah masuk musim kemarau, bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat langsung beralih ke jagung ataupun singkong.

"Tapi saat ini kan orang itu jaim (malu) ya, kalau makanan pokok kita pindah dari beras ke yang lain itu identik dengan orang miskin. Nah, itu yang harus kita hilangkan, sebenarnya pangan lokal kita itu cukup banyak, terutama jenis ubi," kata Laili kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (26/8/2025).

Menurut Laili, pengenalan pangan karbohidrat selain beras disarankan untuk dikenalkan kepada anak sejak usia dini.

Misalnya untuk bahan Makanan Pengganti Air Susu Ibu (MPASI) seperti bubur nasi, bisa diselingi dengan bubur jagung ataupun bubur labu kuning.

"Kalau dari kecil sudah terlatih rasanya, makanya anak itu referensi kesukaannya ada. Sekarang kan tidak dikenalkan makanan-makanan itu, sehingga ubi-ubian semakin terpinggir," katanya.

Sementara itu, Suwanta mengatakan bahwa meskipun harga beras mahal, kondisi ini nyatanya tidak membuat semua daerah di Indonesia berteriak.

Kondisi saat ini, katanya, justru tidak berdampak signifikan bagi masyarakat yang kesehariannya menggunakan pangan selain beras, misalnya menggunakan pisang, ubi, ataupun sagu sebagai sumber karbohidrat.

Kata Suwanta, budaya makan makanan selain nasi sebagai karbohidrat, khususnya di Pulau Jawa, masih belum familier, terutama di daerah perkotaan.

"Jika bicara daerah Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Ambo, apalagii NTT, mereka tidak akan pernah khawatir kalau tidak ada beras. Yang sebenarnya menjadi concern adalah di Pulau Jawa, kalau tidak ada beras, apakah mereka familier dengan makanan pengganti itu?" tanyanya.

Ia menuturkan, berkembangnya budaya mengonsumsi pangan selain beras di suatu daerah pada dasarnya didukung dengan kondisi geografis yang memadai.

Beberapa daerah di Indonesia memang banyak didominasi oleh daerah perkebunan dan laut, sementara sebagian lainnya ditanami padi.

Meskipun demikian, area yang ditanami padi cenderung lebih dominan, dan ini menjadikan padi sebagai tumpuan pokok budaya nasional.

Melirik pangan lokal pengganti beras

Ada beragam pangan lokal yang bisa dijadikan sebagai pengganti beras, misalnya pisang dan ubi.

Pisang pengganti beras

pangan nasional pengganti beras, bahan pangan pengganti nasi, pangan pengganti nasi, alternatif pangan lokal selain beras, alternatif pangan lokal pengganti beras, Saat Harga Beras Mahal, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi

Ilustrasi pisang latundan.

Kata Suwanta, pisang umum disajikan sebagai karbohirat di daerah Ambon dan Sulawesi. Jenis pisang yang dipakai yaitu pisang tanduk mentah.

"Pisang tanduk itu sangat bagus, sangat sehat, pisang tanduk yang digunakan itu tidak masak, dia masih mentah. Jadi, dimasak dengan cara direbus atau dikukus, sebagai pengganti karbohidrat," katanya.

Satu buah pisang tanduk berukuran besar, lanjutnya bisa disajikan untuk dua kali makan.

Cara pengolahannya cukup mudah, tinggal dikukus bersama daun pandan supaya harum dan empuk, kemudian santap bersama aneka lauk layaknya menyantap nasi.

"Sayur dan lauk (untuk disantap bersama pisang) normal, kalau suka sambal, itu tambah cocok," katanya.

Selain dikukus, pisang tanduk ini katanya juga sedap dimasak dengan cara digoreng polos, setelah itu disantap bersama aneka lauk.

Di daerah Sulawesi, lanjutnya, pisang biasa disantap bersama ikan dan sambal dabu-dabu.

Ubi pengganti beras

Pilihan pangan lainnya yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti beras yaitu ubi, Kata Suwanta, komoditas ubi di kawasan Wonogiri, Gunung Kidul, Jawa Timur termasuk melimpah.

Ketersediaan komoditas ini, katanya, bisa dimanfaatkan dan dibudidayakan sebagai pangan pengganti beras.

Sejalan, Laili menuturkan bahwa ada beragam jenis ubi di daerah Jawa Timur yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti beras.

"Sebenarnya pangan lokal kita itu cukup banyak, terutama jenis ubi. Jenis ubi di Jawa Timur khususnya, ada ubi jalar, ada ubi kayu atau singkong, ada ubi gembili, ada talas, ada kentang, sebenarnya kita bisa angkat lagi," kata Laili.

Bahkan, kata Laili, jika dibandingkan dengan nasi putih, untuk 135 gram ubi jalar, kandungannya setara dengan 100 gram nasi putih. Sehingga, akan lebih mengenyangkan.

Kendati demikian, tambah Laili, tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sebagian orang dengan kondisi perut yang sensitif, akan menyebabkan perut terasa kembung saat menyantap ubi.

pangan nasional pengganti beras, bahan pangan pengganti nasi, pangan pengganti nasi, alternatif pangan lokal selain beras, alternatif pangan lokal pengganti beras, Saat Harga Beras Mahal, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi

Ilustrasi ubi jalar. Kelompok yang tidak dianjurkan makan ubi jalar, siapa saja?

"Karena dia (ubi) mengandung flatulence, (menyebabkan) kembung terus buang angin. Itu ada beberapa yang sensitif seperti itu. Tapi kalau yang tidak sensitif, dia (ubi) sangat menguntungkan dari segi serat," katanya.

Selain lezat disantap, sambungnya, ubi juga cocok disantap oleh orang yang sedang diet menurunkan berat badan.

Sebab, lanjutnya, ubi termasuk pangan yang awet di lambung, sehingga membuat perut terasa kenyang lebih lama dibanding mengonsumsi nasi.

Kata Laili, normalnya, kebutuhan karbohidrat untuk tubuh yakni antara 50 sampai 60 persen dari kebutuhan gizi sehari-hari. Sementara untuk yang sedang diet atau penderita obesitas, kebutuhannya hanya 1/4  dari keburuhan gizi tubuh perhari.

Melihat polemik tingginya harga beras, sementara Indonesia punya beragam pangan alternatif, Laili menilai perlu adanya dorongan atau percontohan dari pemerintah ataupun figur publik untuk mempopularkan makan makanan pengganti beras.

Ia juga menilai, pemanfaatan bahan pangan selain beras ini berpeluang besar dikembangkan di Indonesia asal diimbangi dengan teknologi yang memadai.

"Asal diimbangi dengan teknologi, dukungan pasar yang memadai, bisa memproduksi,  jadi harus lintas sektor," kata Laili.

Pentingnya diversifikasi pangan 

Menurut Laili, diversifikasi pangan penting untuk dilakukan, selain untuk ketahanan pangan, juga baik pula untuk kesehatan.

"Kami dari gizi itu justru menganjurkan kalau kita makan itu beraneka ragam. Jadi makanlah makanan itu beraneka ragam, kalau sumber karbohidrat itu tidak hanya nasi, bisa singkong, bisa kentang, bisa umbi, bisa mi, bisa makaroni, dan sebagainya," kata Laili.

Ia menuturkan, semakin beragam makanan yang dikonsumsi, maka tubuh akan mendapatkan zat gizi yang semakin lengkap. Sebab, masing-masing bahan makanan mengandung  zat yang berbeda-beda. 

Tidak hanya perihal pangan pengganti karbohidrat, dalam hal ini termasuk lauk pauk. 

"Walaupun suka ayam, jangan terus tiap hari makan ayam. Tapi ganti telur, ganti teri, ganti ikan asin dan sebagainya. Jadi keberagaman itu penting, dan sesuai dengan pesan gizi seimbang," pungkas Laili.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!