Terungkap! 10 Alasan Anak Muda Rela Mengambil Utang Demi Tampil Kaya Baru

Ilustrasi menagih hutang, 1. Tekanan Sosial dan Gengsi, 2. Fear of Missing Out (FOMO), 3. Kebahagiaan Instan, 4. Kurangnya Edukasi Keuangan, 5. Lingkungan yang Konsumtif, 6. Anggap Utang sebagai Investasi Diri, 7. Kepuasan Psikologis, 8. Kurangnya Perencanaan Keuangan, 9. Paparan Iklan dan Promosi Paylater, 10. Rasa Kompetisi dan Standar Sosial
Ilustrasi menagih hutang

Fenomena orang kaya baru (OKB) sedang marak di kalangan anak muda. Media sosial memudahkan siapa saja untuk menampilkan gaya hidup mewah, dari gadget terbaru hingga liburan ke luar negeri. 

Banyak generasi muda merasa terdorong untuk ikut tren ini agar terlihat “sukses” meski harus merogoh kocek lebih dalam atau bahkan mengambil utang. Sikap tersebut menimbulkan pertanyaan: mengapa mereka rela membebani diri dengan pinjaman, padahal penghasilan belum tentu mencukupi?

Ternyata, keputusan ini tidak hanya soal keinginan membeli barang, tetapi juga faktor psikologis dan sosial yang kompleks. Berikut beberapa alasan yang mendorong generasi muda ‘nekat’ berhutang atau mengambil pinjaman. 

1. Tekanan Sosial dan Gengsi

Media sosial membuat kesuksesan material tampak lebih penting dari sebelumnya. Anak muda merasa jika tidak mengikuti tren, mereka akan dianggap ketinggalan. Tekanan ini memicu perilaku utang untuk membeli barang mewah demi pengakuan sosial.

2. Fear of Missing Out (FOMO)

Rasa takut ketinggalan tren menjadi motivasi besar. Ketika teman atau influencer sudah memiliki barang atau pengalaman tertentu, muncul dorongan untuk segera ikut, meski harus berutang. FOMO membuat logika finansial sering diabaikan.

3. Kebahagiaan Instan

Banyak anak muda percaya barang mewah bisa memberikan kebahagiaan seketika. Padahal, kepuasan dari konsumsi cepat ini hanya sementara dan sering menimbulkan stres ketika tagihan menumpuk.

4. Kurangnya Edukasi Keuangan

Tidak sedikit generasi muda yang belum memahami risiko utang dan bunga. Kurangnya literasi finansial membuat mereka sulit menilai kemampuan membayar dan konsekuensi jangka panjang.

5. Lingkungan yang Konsumtif

Teman, kampus, atau komunitas online yang menekankan gaya hidup mewah mendorong perilaku konsumtif. Anak muda meniru pola ini agar diterima dalam lingkaran sosialnya.

6. Anggap Utang sebagai Investasi Diri

Beberapa beralasan bahwa membeli barang branded atau gadget terbaru adalah “investasi diri” untuk meningkatkan citra atau peluang karier. Padahal, barang konsumtif jarang memberikan nilai tambah finansial nyata.

7. Kepuasan Psikologis

Berutang untuk gaya hidup mewah memberikan perasaan “hebat” sesaat. Efek dopamin ini membuat anak muda sulit berhenti, meski tahu risiko finansial mengintai.

8. Kurangnya Perencanaan Keuangan

Banyak yang tidak memiliki anggaran bulanan atau tabungan darurat. Tanpa perencanaan, utang menjadi jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup yang tidak seimbang dengan pendapatan.

9. Paparan Iklan dan Promosi Paylater

Kemudahan paylater dan cicilan tanpa bunga mempermudah generasi muda membeli barang mahal tanpa menunggu tabungan. Promosi ini membuat utang terlihat lebih “aman” padahal tetap berisiko.

10. Rasa Kompetisi dan Standar Sosial

Perasaan harus “setara” dengan teman sebaya mendorong utang konsumtif. Kompetisi sosial ini sering kali mengabaikan kemampuan finansial pribadi.

Alasan anak muda mengambil utang demi hedonisme sangat kompleks berdampak tagihan menumpuk, stres dan ketidakstabilan keuangan jangka panjang. Sehingga penting untuk meningkatkan edukasi finansial, membuat anggaran realistis, dan membangun mindset bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu ditentukan oleh barang mewah.