Anomali Brainrot Mengancam Anak, Ini Peringatan Dosen IPB

Brainrot, brainrot, brainrot adalah, anomali brainrot, anomali brainrot italia, Anomali Brainrot Mengancam Anak, Ini Peringatan Dosen IPB, Risiko gangguan realitas dan bahasa, Dampak bagi remaja: pola pikir tidak logis, Bisa jadi sarana kreativitas, asal dikelola, Enam cara melindungi anak dari dampak brainrot, Apa itu brain rot?, Gejala brainrot sesuai usia anak

Fenomena "Anomali Brainrot" tengah viral di media sosial, terutama TikTok. Konten-konten absurd seperti manusia berwujud pentungan kayu, hiu memakai sepatu, atau cappuccino berkepala balerina ramai beredar dan dinikmati berbagai kalangan, termasuk anak-anak dan remaja.

Fenomena ini mulai menarik perhatian akademisi, salah satunya Dr Melly Latifah, dosen IPB University dari Divisi Perkembangan Anak, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.

Menurut Melly, seperti dilansir laman IPB University, di balik kelucuan dan keanehan konten "hyper-absurd" tersebut, terdapat potensi dampak serius terhadap perkembangan anak dan remaja.

Ia menilai, paparan berlebihan terhadap konten semacam ini perlu diwaspadai, terutama bagi anak usia dini.

Risiko gangguan realitas dan bahasa

Melly menjelaskan, anak usia dini berada pada tahap praoperasional menurut teori Piaget. Pada fase ini, anak belum mampu membedakan dengan jelas antara fantasi dan kenyataan.

“Visual yang sangat absurd bisa memicu pelepasan dopamin secara berlebihan, yang berdampak pada fokus dan emosi,” ujarnya, Rabu (2/7/2025).

Selain itu, narasi yang tidak koheren dalam konten-konten tersebut dapat menghambat pemahaman anak terhadap struktur bahasa.

Dampak bagi remaja: pola pikir tidak logis

Berbeda dengan anak-anak, remaja yang terus-menerus terpapar konten absurd bisa mengalami perubahan pola pikir.

Melly menyebutkan bahwa fenomena ini dapat menanamkan anggapan bahwa semakin tidak masuk akal sebuah konten, maka semakin menarik.

“Ini berpotensi mengurangi kemampuan berpikir sistematis dan logis,” katanya.

Ia juga menyoroti kemungkinan berkurangnya empati pada remaja karena konten semacam ini sering kali menghilangkan konteks emosional dari suatu peristiwa.

Bisa jadi sarana kreativitas, asal dikelola

Meski demikian, Melly menegaskan bahwa konten absurd tidak sepenuhnya berbahaya. Jika dikelola dengan pendekatan yang tepat, konten ini justru bisa merangsang kreativitas dan fleksibilitas berpikir.

“Untuk anak usia dini, orang tua bisa menjelaskan bahwa ini hanya khayalan AI. Misalnya, katakan ‘Dalam dunia nyata, ikan hiu tidak memakai sepatu,’” ungkapnya.

Sementara bagi remaja, konten absurd bisa dijadikan sarana untuk melatih kemampuan mengenali pola atau pattern recognition.

“Konten ini bisa menjadi semacam ‘cognitive playground’ yang melatih deteksi anomali. Ini keterampilan penting di era banjir informasi seperti sekarang,” tambahnya.

Enam cara melindungi anak dari dampak brainrot

Untuk mengurangi dampak negatif konten absurd, Melly menyarankan enam langkah yang bisa dilakukan orang tua:

-Bangun literasi digital: Jelaskan bahwa konten AI adalah khayalan, seperti mimpi aneh, bukan kenyataan.

-Batasi akses: Aktifkan restricted mode, batasi durasi maksimal 5 menit per hari, dan hindari penggunaan gawai satu jam sebelum tidur.

-Aktifkan konsumsi konten: Ajak anak menganalisis isi video. Contohnya, “Sebutkan tiga hal yang tidak masuk akal di video ini!”

-Latih cognitive anchoring: Kaitkan konten dengan fakta. Misalnya, “Hiu tidak punya kaki, kan?”

-Edukasi bahaya absurditas: Jelaskan bahwa konsumsi berlebihan bisa mengubah jalur saraf, layaknya makan permen terus-menerus.

-Lakukan digital detox: Jika konsumsi sudah tidak terkendali, matikan internet selama 3–7 hari dan ajak anak melakukan aktivitas fisik atau sosial secara langsung.

Apa itu brain rot?

Istilah “brain rot” merujuk pada kondisi psikologis akibat gaya hidup digital yang diwarnai kebiasaan scrolling tanpa henti, menonton secara maraton, dan multitasking.

“Perilaku ini menyebabkan cognitive overload, kelelahan mental, dan menurunnya fokus. Otak jadi terbiasa dengan stimulasi cepat dari video pendek,” jelas Melly.

Gejala brain rot, menurut dia, bisa muncul dalam berbagai aspek—kognitif, bahasa, emosi, maupun sosial. Anak bisa mengalami kesulitan berkonsentrasi, lupa instruksi sederhana, bicara tidak lancar, atau penurunan kosakata.

“Secara emosional, anak bisa tertawa histeris saat menonton tetapi datar saat diajak bicara. Ada juga yang marah saat gadget diambil,” paparnya.

Gejala brainrot sesuai usia anak

Melly menekankan bahwa gejala brain rot dapat bervariasi tergantung usia:

Balita: Meniru gerakan absurd dari video yang ditonton.

Anak usia SD: Mengalami penurunan nilai secara drastis.

Remaja: Mulai berkomunikasi dengan bahasa meme yang tidak logis.