Mengapa Sound Horeg Resmi Diganti Jadi Sound Karnaval Indonesia? Ini Alasannya

Istilah “Sound Horeg” yang selama ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, kini resmi berganti nama menjadi “Sound Karnaval Indonesia”.
Perubahan nama ini dideklarasikan oleh para pengusaha sound system dalam perayaan ulang tahun ke-6 komunitas Team Sotok yang berlangsung di Lapangan Desa Gedog Kulon, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, pada Selasa (29/7/2025).
Langkah ini diambil untuk meredam stigma negatif yang terus berkembang terhadap istilah “sound horeg”, yang sebelumnya digunakan untuk menyebut perangkat audio berkekuatan besar yang kerap membuat benda di sekitarnya bergetar hebat.
Latar Belakang Perubahan Nama
Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu sekaligus pemilik usaha sound system Blizzard, David Stevan, menjelaskan bahwa istilah “sound horeg” sebenarnya tidak berasal dari para pelaku usaha. Istilah tersebut muncul dari masyarakat sebagai bentuk penggambaran terhadap kerasnya suara yang dihasilkan.
“Nama sound horeg itu sendiri bukan kita yang memberi nama, tapi masyarakat yang memberikan julukan,” ujar David.
Menurutnya, perubahan nama ini adalah bentuk itikad baik untuk menghentikan kegaduhan yang terjadi di masyarakat serta menunjukkan komitmen para pelaku usaha untuk tetap mematuhi peraturan pemerintah.
“Harapan kami ke depannya tidak lagi ada kegaduhan terkait sound ini. Kita juga akan selalu patuh terhadap peraturan pemerintah,” tegasnya.
Asal-usul dan Makna Horeg
Dalam Bahasa Jawa, “horeg” berarti bergetar. Istilah ini melekat pada perangkat sound system berdaya tinggi yang kerap digunakan dalam pertunjukan musik jalanan, karnaval, hingga acara hiburan desa.
Namun, popularitasnya justru berujung kontroversi karena dianggap menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitar.
Kontroversi semakin mencuat setelah sejumlah ulama dalam forum Bahtsul Masail Forum Satu Muharram (FSM) yang digelar di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, Jawa Timur, pada 26-27 Juni 2025, memfatwakan bahwa pertunjukan sound horeg hukumnya haram.
Pengasuh Ponpes Besuk, KH Muhibbul Aman Aly, menyampaikan bahwa fatwa tersebut diputuskan setelah mengkaji fenomena sound horeg dari berbagai aspek, seperti lingkungan, sosial, hingga hukum Islam.
“Kita bahas cukup lama kira-kira dua jam dari berbagai macam aspek, lalu kita kaitkan dengan hukum syariat Islam,” ungkap Kyai Aly dalam acara Overview Tribunnews, Rabu (9/7/2025).
Tiga Aspek yang Menjadi Dasar Fatwa Haram
Berikut tiga poin utama yang mendasari fatwa haram terhadap sound horeg:
1. Aspek Suara
Volume suara sound horeg dinilai melampaui batas wajar hingga dapat menyebabkan kaca pecah dan mengganggu masyarakat.
2. Aspek Kegiatan
Pertunjukan sound horeg sering kali dibarengi dengan tarian erotis, joget berlebihan, dan dilakukan di tempat terbuka, yang dikhawatirkan berdampak buruk pada anak-anak.
“Mohon maaf, hampir pasti disertai tarian seksi, dan ditonton anak kecil. Ini dikeluhkan masyarakat,” tutur Kyai Aly.
3. Aspek Dampak Sosial
Pertunjukan ini kerap diwarnai konsumsi minuman keras dan tawuran antar pemuda, sehingga dinilai berpotensi merusak moral generasi muda.
Tanggapan PBNU
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menanggapi fatwa ini. Ketua Tanfidziyah PBNU, Fahrur Rozi, menegaskan bahwa sound horeg menjadi haram bila mengganggu orang lain.
“Jangankan sound horeg, aktivitas lain dengan suara keras di malam hari juga tidak diperbolehkan,” ujar Fahrur, Sabtu (5/7/2025).
Ia juga menekankan pentingnya membatasi volume suara dan menjaga ketertiban masyarakat.
“Kalau banyak mudharatnya sampai cenderung minum-minuman keras, joged berlebihan, maka harus dibatasi. Islam mengajarkan untuk menghormati tetangga dan sesama,” tambah pria yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal MUI itu.
Risiko Kesehatan: Ancaman Gangguan Pendengaran
Fenomena sound horeg juga mendapat perhatian dari dunia medis. Menurut dr. Ashadi Budi, Sp.T.H.T.B.K.L, dari RS Pondok Indah, paparan suara keras dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen.
“Semakin keras suara kita dengarkan, semakin besar risiko kerusakan. Kerusakan ini bisa permanen,” jelasnya saat diskusi media di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Ia menambahkan bahwa suara sebesar 120 desibel, seperti speaker besar yang ditempel ke telinga, sangat berbahaya.
Bahkan, paparan suara 80 desibel selama 10 jam bisa menurunkan fungsi pendengaran secara signifikan.
Dengan bergantinya nama menjadi “Sound Karnaval Indonesia”, para pelaku usaha berharap dapat mengembalikan citra positif industri hiburan ini.
Upaya ini juga diharapkan menjadi langkah awal untuk membangun pertunjukan musik yang lebih ramah lingkungan, mendidik, dan sesuai dengan norma sosial serta agama.
Sebagian Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul dan Tribunnews.com dengan judul "Sound Horeg Berubah Nama Jadi Sound Karnaval Indonesia Lewat Deklarasi Para Owner di Malang"