Pemilik Kafe Wajib Tahu: Rekaman Suara Alam Wajib Bayar Royalti

Royalti musik, LMKN, Hak Cipta Musik, aturan royalti lagu, suara burung di kafe, rekaman suara alam, Pemilik Kafe Wajib Tahu: Rekaman Suara Alam Wajib Bayar Royalti

 Pembahasan mengenai pembayaran royalti atas pemutaran musik di ruang publik komersial seperti restoran, kafe, pusat kebugaran, toko, dan hotel tengah menjadi sorotan.

Beberapa pemilik usaha bahkan memilih untuk tidak memutar musik sama sekali demi menghindari potensi masalah hukum terkait royalti.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, kewajiban pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Meski aturan sudah berlaku selama hampir satu dekade, masih banyak pelaku usaha yang bingung, terutama soal siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembayaran royalti, apalagi jika musik dibawakan secara langsung di tempat usaha.

Penyanyi Tak Wajib Bayar Royalti

Komisioner LMKN, Ikke Nurjanah, menegaskan bahwa penyanyi atau musisi yang tampil langsung di ruang publik tidak dikenai kewajiban membayar royalti. Beban tersebut tetap menjadi tanggung jawab pemilik usaha sebagai pihak yang menggunakan karya di ruang komersial.

“Pemusik dan penyanyi tidak dibebankan untuk melakukan pembayaran royalti, karena yang wajib memperoleh izin serta melakukan pembayaran royalti adalah pemilik usaha sebagai pengguna melalui LMK sesuai Pasal 87 ayat 2, 3, dan 4 Undang-Undang Hak Cipta,” ujar Ikke saat dihubungi Kompas.com, Selasa (5/8/2025).

Ia menjelaskan, kewajiban pembayaran performing rights atau hak pertunjukan oleh pemilik usaha telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.

Setelah pembayaran dilakukan, LMKN akan memberikan lisensi pemutaran atau penampilan lagu milik pencipta.

“Pembayaran royalti PR (performing rights) di kafe dan restoran telah berhasil dihimpun, dikelola, dan didistribusikan walaupun masih jauh dari proyeksi jika mengacu pada potensi dengan asumsi optimal,” lanjutnya.

Rekaman Suara Alam Tetap Kena Royalti

Di tengah ketidakpastian ini, sebagian pemilik usaha mencoba mencari solusi. Beberapa memilih memutar musik instrumental, lagu internasional, bahkan suara alam seperti kicauan burung. Namun ternyata, strategi ini juga tidak benar-benar bebas royalti.

Ketua LMKN Dharma Oratmangun menegaskan bahwa rekaman suara burung atau suara alam lainnya tetap dikategorikan sebagai rekaman fonogram yang dilindungi hak terkait. Artinya, pemutaran suara alam dari hasil rekaman tetap memerlukan pembayaran royalti.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar,” ujar Dharma kepada Kompas.com, baru-baru ini.

Dharma juga menjelaskan bahwa lagu internasional tidak otomatis bebas dari kewajiban royalti. Indonesia telah menandatangani perjanjian internasional dalam perlindungan hak cipta, sehingga pemutaran lagu asing juga tunduk pada aturan yang sama.

“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” jelasnya.

Strategi Kafe Tak Selalu Efektif Hindari Royalti

Sebelumnya, sejumlah kafe dan restoran di Jakarta mengubah kebijakan pemutaran musik mereka. Salah satu kafe di kawasan Tebet, misalnya, mengganti lagu-lagu Indonesia dengan musik barat atau instrumental sejak mencuatnya kasus hukum terkait royalti musik.

Bahkan, ada restoran yang memilih untuk tidak memutar musik sama sekali dan membiarkan suasana hanya diwarnai suara aktivitas dapur.

Salah satu manajemen kafe di Jakarta Selatan bahkan menyebut bahwa skema royalti sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun terasa berat bagi pelaku usaha kecil. Beberapa pihak juga mengusulkan skema pembayaran royalti lewat platform digital seperti Spotify sebagai alternatif.

Namun, berdasarkan penjelasan LMKN, semua bentuk rekaman, baik itu lagu populer, musik instrumental, lagu luar negeri, hingga suara alam, tetap termasuk karya cipta yang tunduk pada ketentuan hukum hak cipta.

Maka, pemilik usaha sebaiknya memahami aturan secara menyeluruh agar tidak tersandung persoalan hukum di kemudian hari.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!