Ini Cara Cafe Hindari Bayar Royalti Musik, Kreatif tapi Legal?

Kafe dan restoran sering mengandalkan musik sebagai bagian dari suasana.
Namun, belakangan sejumlah pelaku usaha kuliner memilih untuk tidak lagi memutar lagu dari musisi Indonesia.
Alasannya bukan karena tren, melainkan kekhawatiran terkena denda karena melanggar aturan royalti musik.
Setelah kasus hukum menimpa beberapa tempat usaha, sejumlah kafe mulai menyiasati situasi ini dengan cara yang unik.
Simak cerita langsung dari para pelaku usaha serta bentuk siasat unik yang mereka lakukan untuk menghindari jerat hukum royalti musik.
Kafe di Tebet Pilih Lagu Barat dan Musik Instrumental
Salah satu kafe di Jalan Tebet Barat, Jakarta Selatan, memutuskan mengganti seluruh lagu Indonesia dengan lagu barat dan musik instrumental.
Keputusan ini muncul setelah manajemen mengetahui ada restoran mie yang bermasalah secara hukum karena tidak membayar royalti.
“Sekarang enggak boleh lagi setel lagu Indonesia, jadi diganti ke lagu-lagu barat aja,” ujar Ririn (28), salah satu karyawan, saat ditemui Kompas.com pada Minggu (3/8/2025).
Menurutnya, kebijakan ini diterima dengan baik oleh pelanggan karena musik barat yang diputar masih tergolong populer.
Restoran Mie Pilih Tak Memutar Musik Sama Sekali
Berbeda dengan kafe tadi, sebuah restoran mie di Jalan Tebet Raya memilih langkah ekstrem: tidak memutar musik sama sekali.
“Udah enggak pernah nyetel lagi, dari awal udah enggak boleh. Jadi, benar-benar anyep,” ujar Gusti (23), karyawan restoran tersebut.
Suasana restoran kini hanya diisi suara dari dapur. Meski kehilangan elemen hiburan, mereka merasa lebih aman secara hukum karena tak menyentuh konten berhak cipta apa pun.
Ilustrasi cafe romantis.
Suara Burung
Beberapa kafe lain bahkan menggunakan suara alam sebagai pengganti musik. Seperti yang dilakukan sebuah kafe di Kebayoran, Jakarta Selatan, yang mengganti lagu dengan suara kicauan burung.
“Sementara ini enggak muter lagu lokal, saya takut dijebak. Jadi mending pasang lagu Inggris atau suara burung,” ujar Eca (23), manajemen kafe, kepada Kompas.com pada Selasa (5/8/2025).
Eca menyebut, belum adanya pemahaman penuh soal mekanisme royalti membuat banyak pelaku usaha merasa was-was.
Lagu Produksi Sendiri Jadi Alternatif
Tak sedikit juga pemilik kafe yang memilih memutar lagu hasil produksi sendiri. Salah satunya Ivan Gunawan, presenter sekaligus desainer yang juga memiliki kafe.
“Aku rata-rata pakai lagu aku sendiri sih,” kata Ivan Gunawan saat diwawancara di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Rekaman Suara Alam Tetap Kena Royalti
Solusi seperti memutar suara alam ternyata tidak sepenuhnya lepas dari aturan royalti. Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa rekaman suara burung atau suara alam lainnya tetap masuk dalam kategori rekaman fonogram yang dilindungi hak terkait.
Artinya, produser yang merekam suara tersebut memiliki hak hukum atas karyanya.
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar,” ujar Dharma saat dihubungi Kompas.com baru-baru ini.
Lagu Internasional Juga Tidak Bebas Royalti
Ia menambahkan bahwa bukan hanya lagu Indonesia yang dikenai royalti. Lagu internasional pun tetap berada dalam cakupan peraturan yang sama, karena Indonesia sudah terikat kerja sama internasional dalam perlindungan hak cipta.
“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” lanjutnya.
Pernyataan ini jadi pengingat bahwa strategi pelaku usaha kuliner dalam menyiasati royalti musik tidak bisa sembarangan.
Apa pun bentuk rekamannya, baik lagu, suara alam, maupun musik instrumental, selama merupakan karya cipta yang diputar di ruang publik, tetap harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!