Bola Liar Royalti Musik, Rakyat Jangan Ditakut-Takuti

 Bola Liar Royalti Musik, Rakyat Jangan Ditakut-Takuti

Isu royalti musisi saat ini jadi bola liar. Bahkan, publik atau berbagai pemilik cafe ogah memutar musik karena takut ditagih royalti.

DPR menilai perlu adanya pengaturan yang jelas dan tegas terkait masalah royalti dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang akan dibahas oleh Komisi X DPR RI.

Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya menilai pemutaran lagu dari musik berlisensi di acara sosial seperti pernikahan, hiburan warga, olah raga warga, dan sejenisnya harus dilihat sebagai penggunaan untuk kegiatan sosial, dan tidak ada sifat komersial di dalamnya.

"Ini tidak perlu lah ditakut-takuti dengan ancaman membayar royalti karena kegiatan demikian tidak ada sifat komersil di dalamnya," kata Willy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (14/8).

Willy mengamini bahwa hak cipta harus dihormati, meski begitu tidak perlu semua hal menjadi harus dikomersialkan, khususnya dalam kegiatan sosial.

"Saya setuju untuk menaruh penghormatan terhadap hak cipta pada tempat yang tinggi, namun tidak lantas semua hal perlu dikonversi menjadi nilai komersil karena kita hidup juga di dalam lingkung sosial," ujarnya.

Ia menilai polemik tentang hak royalti di tengah masyarakat sudah bergulir begitu jauh dan sudah memunculkan berbagai dampak sosial dan hukum yang tidak sederhana.

"Restoran berskala kecil, kafe, dan UMKM lainnya merasa khawatir mengingat mereka juga disebut akan dikenakan royalti saat memutar musik, bahkan saat mereka memilih memutar suara alam seperti kicauan burung pun," katanya.

Willy memandang ada kesan saling serang antara pengguna yang belum sadar aturan dan pemilik yang terkesan mencari-cari celah untuk memanfaatkan situasi.

Pasalnya, karakter bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup bersama dalam keragaman.

"Tampilan yang demikian ini bukan tampilan khas kultur Indonesia yang gotong royong dan musyawarah," ujarnya.

Ia mengingatkan, pendiri bangsa ini tentu tidak menginginkan anak cucunya ‘saling tikam’ dalam kebebasan komersialisasi hak (milik) pribadi.

"Coba liat UU Pokok Agraria tahun 1960, itu bisa jadi contoh baik pengaturan fungsi sosial-kepentingan umum tanah dan fungsi tanah sebagai fungsi kapital perorangan," tuturnya. (*)