Benarkah Putar Musik Klasik Bebas Royalti? Ini Penjelasan Pakar Hukum

royalti, musik klasik, Royalti musik, royalti lagu, royalti musik di cafe, Benarkah Putar Musik Klasik Bebas Royalti? Ini Penjelasan Pakar Hukum, Apa Itu Public Domain dan Mengapa Musik Klasik Masuk Kategori Ini?, Pakar Hukum: Musik Klasik Asli Bebas Royalti, tapi Ada Catatannya, Hati-hati: Musik Klasik Versi Modern Masih Bisa Kena Royalti, Hak Cipta Melindungi Dua Aspek: Moral dan Ekonomi, Ketentuan Masa Perlindungan Hak Cipta Berdasarkan UU, Contoh Kasus: Lagu Bengawan Solo Masih Bayar Royalti

Media sosial diramaikan oleh sebuah unggahan yang menyebut bahwa kafe tidak perlu membayar royalti jika memutar musik klasik.

Klaim tersebut diunggah akun Instagram @neohistoria.id pada Selasa (5/8/2025), dan langsung mengundang perhatian warganet.

Unggahan itu menyatakan bahwa karya komposer legendaris seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven, dan Johann Sebastian Bach sudah menjadi milik publik (public domain), sehingga dapat diputar bebas tanpa dikenakan biaya royalti.

Apa Itu Public Domain dan Mengapa Musik Klasik Masuk Kategori Ini?

Public domain merujuk pada status hukum di mana sebuah karya tidak lagi dilindungi oleh hak cipta, sehingga dapat digunakan oleh siapa saja tanpa izin atau pembayaran royalti.

Dalam konteks musik klasik, karya-karya para maestro yang telah meninggal dunia ratusan tahun lalu dianggap telah melewati masa perlindungan hak cipta.

Di Indonesia, aturan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Pakar Hukum: Musik Klasik Asli Bebas Royalti, tapi Ada Catatannya

Dikonfirmasi Kompas.com pada Rabu (6/8/2025), pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah kematiannya.

“Ukurannya seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun kemudian. Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” kata Fickar.

Hal senada juga disampaikan Prof. Pujiyono Suwadi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS).

Menurutnya, hak ekonomi atas karya musik akan berakhir 70 tahun setelah penciptanya meninggal dunia.

“Jadi kalau penciptanya wafat tahun ini, maka royalti masih berlaku hingga 70 tahun ke depan,” ujar Pujiyono.

Hati-hati: Musik Klasik Versi Modern Masih Bisa Kena Royalti

Meski komposisi orisinal karya Mozart atau Beethoven sudah bebas royalti, versi aransemen modern, rekaman orkestra baru, atau interpretasi oleh musisi masa kini tetap dilindungi hak cipta.

Artinya, kafe yang memutar musik klasik dalam bentuk rekaman baru tetap harus berhati-hati. Bisa jadi, hak cipta tidak lagi melekat pada komposisi dasarnya, tetapi pada bentuk rekaman atau aransemen yang digunakan.

Hak Cipta Melindungi Dua Aspek: Moral dan Ekonomi

UU Hak Cipta di Indonesia membedakan antara hak moral dan hak ekonomi.

Hak moral meliputi pengakuan terhadap nama pencipta, seperti mencantumkan nama pengarang lagu. Sementara hak ekonomi berkaitan dengan hak untuk memperoleh manfaat materi dari ciptaannya.

“Hak ekonomi tidak ada batasan yang rinci mengenai penyebutan kepentingan komersial,” kata Pujiyono.

Artinya, apakah musik diputar di pernikahan rumah, jalanan, hotel, atau kafe—jika masih dalam masa perlindungan hak cipta, maka tetap berpotensi dikenai kewajiban membayar royalti.

royalti, musik klasik, Royalti musik, royalti lagu, royalti musik di cafe, Benarkah Putar Musik Klasik Bebas Royalti? Ini Penjelasan Pakar Hukum, Apa Itu Public Domain dan Mengapa Musik Klasik Masuk Kategori Ini?, Pakar Hukum: Musik Klasik Asli Bebas Royalti, tapi Ada Catatannya, Hati-hati: Musik Klasik Versi Modern Masih Bisa Kena Royalti, Hak Cipta Melindungi Dua Aspek: Moral dan Ekonomi, Ketentuan Masa Perlindungan Hak Cipta Berdasarkan UU, Contoh Kasus: Lagu Bengawan Solo Masih Bayar Royalti

Ilustrasi Johannes Brahms, salah satu komposer musik klasik paling populer.

Ketentuan Masa Perlindungan Hak Cipta Berdasarkan UU

Merujuk Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak ekonomi atas suatu karya berlaku:

“Selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.”

Jika karya tersebut diciptakan oleh lebih dari satu orang, maka masa perlindungan dihitung sejak pencipta terakhir wafat, ditambah 70 tahun setelahnya.

Sedangkan untuk karya yang dimiliki oleh badan hukum atau institusi, masa perlindungan hak ekonomi berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.

Contoh Kasus: Lagu Bengawan Solo Masih Bayar Royalti

Sebagai perbandingan, Pujiyono menyebut bahwa lagu legendaris “Bengawan Solo” ciptaan Gesang masih berada dalam masa perlindungan hak cipta.

Artinya, royalti atas pemutaran lagu tersebut masih harus dibayarkan kepada ahli warisnya hingga 70 tahun sejak Gesang wafat.

Jadi, benarkah kafe yang memutar musik klasik bebas dari kewajiban royalti?

Jawabannya bisa iya, bisa tidak, tergantung pada versi musik yang diputar.

Jika komposisi orisinal dari era klasik dimainkan tanpa modifikasi atau rekaman modern, maka kemungkinan besar tidak dikenai royalti karena telah masuk wilayah public domain.

Namun, jika yang diputar adalah versi rekaman baru, orkestra kontemporer, atau aransemen modern, maka hak cipta bisa tetap berlaku dan royalti tetap harus dibayarkan.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!