Gerakan Transportasi Hening, Perlawanan Membabi Butanya Penagihan Royalti Musik

PO Bus, Royalti musik, Gerakan Transportasi Hening, Perlawanan Membabi Butanya Penagihan Royalti Musik

SEKITAR dua pekan terakhir, pungutan royalti musik oleh Lembaga Menajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjadi salah satu isu yang dibahas secara nasional. Ada beberapa penagihan royalti yang terkesan berlebihan.

Sebagai contoh, hotel di Bandung yang ditagih royalti karena diduga memutar musik. Padahal, hotel tersebut tidak memutar musik, melainkan menggunakan suara burung peliharaan mereka.

Sementara di Lombok, hotel mengaku dikirim surat pembayaran royalti oleh LMKN. Padahal, hotel tersebut tidak memutar musik di ruang publik.

Hotel tersebut mendapat jawaban: royalti tetap ditagih karena bisa saja tamu memutar musik di dalam kamar.

Polemik ini membuat banyak pelaku usaha lain ketar-ketir, tak terkecuali pengusaha bus.

Pada Sabtu (16/8), beberapa akun pemilik bus maupun akun perusahaan otobus (PO) mengunggah gerakan Transportasi Hening. Mereka merespons membabi-butanya penagihan royalti oleh LMKN.

Kurnia Lesani Adnan, pemilik PO SAN di akun instagramnya @kla_206 mengunggah gerakan Transportasi Hening.

Dalam keterangannya, Sani, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa operator bus sudah sedemikian rupa melakukan efisiensi agar harga tiket dapat terjangkau. Namun, ternyata masih dihadapkan regulasi yang memberatkan, dalam hal ini royalti.

Sani menyampaikan permintaan maaf atas penyesuaian bentuk layanan: tanpa musik.

Unggahan yang sama dikeluarkan PO TAM Wisata, PO Gunung Harta, dan mungkin akan terus bertambah unggahan dari akun resmi PO dengan tagar #transportasiindonesiahening.

Musik merupakan salah satu fitur hiburan di bus yang sudah ada puluhan tahun lalu, khususnya bus AKAP.

Saya ingat ketika periode 1990-an, naik bus malam dari Jakarta ke Malang, sering diperdengarkan lagu-lagu Nike Ardilla, Iwan Fals, Ebiet G Ade, dan penyanyi lawas lainnya. Termasuk lagu dari pemusik barat seperti Beeges, The Beatles, hingga Air Supply.

Adanya musik menambah kesyahduan perjalanan sehingga perjalanan darat selama belasan hingga puluhan jam tidak membosankan.

Pengalaman penulis bekerja di PO bus malam, musik selain menghibur penumpang juga menjadi penyemangat, bahkan penghilang kantuk bagi pengemudi bus.

Meminta pengelola bus membayar royalti musik tentunya bukan langkah bijak. Pasalnya, komponen biaya yang kemudian dimasukan ke tarif sebenarnya sudah banyak, baik yang resmi maupun tidak resmi.

Pungutan resmi seperti biaya perawatan kendaraan, gaji kru dan karyawan, biaya tol, beragam retribusi, hingga iuran Jasaraharja.

Komponen tersebut masih ditambah biaya siluman seperti pungli, baik oleh preman maupun petugas resmi. Itu baru pungli di jalan. Belum lagi permintaan uang keamanan ke kantor-kantor PO hingga "uang koordinasi" yang dikutip oleh oknum aparat ke menajemen PO.

Menagih royalti musik tentunya akan menambah beban PO, dan secara langsung akan berpengaruh kepada masyarakat yang menjadi penumpang bus.

Tiket yang mereka beli akan bertambah mahal karena harus membayar royalti musik. Apalagi Ketua LMKN, Dharma Oratmangun mengatakan, yang bisa diminta kolektif tidak hanya terkait hak cipta musik, tapi juga "hak terkait".

Hak terkait inilah yang menyebabkan pemutaran suara burung atau suara apapun selain lagu berpotensi dimintai royalti.

Maka dengan demikian, sulit bagi kru bus memutarkan musik untuk hiburan ke penumpang mereka, atau untuk membunuh kebosanan maupun kantuk saat mereka bertugas. Kalaupun mereka memutar suara alam, bukan berarti bebas royalti.

Beberapa PO sebenarnya sudah membeli paket musik bebas iklan ke platform-platform musik. Hal ini dilakukan demi kenyamanan penumpang mereka.

Dengan dibelinya paket tanpa iklan, sebenarnya turut memberi kesejahteraan bagi para pemusik. Pasalnya, platform akan membayar pemilik lagu sesuai jumlah pemutaran lagu-lagu mereka.

Maka, tetap mengutip royalti dari mereka, termasuk PO, yang sudah membeli paket ke platform-platform musik, tentunya berpotensi menjadi penagihan ganda. Sudah bayar ke platform, masih disuruh bayar ke LMKN.

Hal ini seharusnya menjadi temuan dalam audit terhadap LMKN, karena merugikan masyarakat yang harus membayar dua kali.

Kembali ke gerakan Transportasi Indonesia Hening, gerakan ini bisa memberikan Butterfly Effect ke sektor lain yang terdampak membabi-butanya penagihan LMKN.

Butterfly Effect adalah konsep yang diperkenalkan Edward Lorenz, seorang meteorolog, yang menyebutkan kepakan sayap kupu-kupu di hutan Amazon bisa menyebabkan badai besar di Texas beberapa hari kemudian.

Secara garis besar, Butterfly Effect menjelaskan perubahan kecil dalam suatu sistem bisa memengaruhi perubahan besar dalam sistem tersebut.

Apa yang dilakukan para pengelola PO mungkin tidak langsung terlihat pengaruhnya. Namun, langkah ini bisa saja diikuti para pelaku usaha lain, entah dalam bentuk yang sama, yakni menghilangkan musik, maupun langkah protes lain atas membabi-butanya penagihan LMKN.

Hilangnya musik mungkin tidak akan menggangu secara langsung aktifitas masyarakat. Namun, pastinya akan ada yang kurang dalam aktifitas tersebut.

Saya membayangkan pusat perbelanjaan hingga angkutan umum yang biasanya diramaikan suara musik, mendadak senyap. 

Belum lagi bagi kru angkutan umum yang biasanya menjadikan musik sebagai hiburan murah mereka selama bekerja.

Jadi, yang perlu diatur adalah bagaimana musik yang diputar hanya melalui media legal, misal YouTube, Spotify, Joox atau platform lain. Pasalnya, platform tersebut akan memberi royalti atau pembayaran atas jumlah pemutaran karya para pemusik tersebut.

Jangan lagi ada pemutaran melalui MP3 bajakan, USB yang menyimpan lagu hasil unduhan ilegal, atau musik-musik bajakan lainnya yang tidak memberikan keuntungan apapun kepada pemilik hak cipta maupun hak terkait.

Sepengetahuan saya, kebanyakan bus saat ini sudah memiliki fasilitas pemutaran platform-platform musik di atas pada armadanya.

Bahkan, beberapa PO seperti Gege Transport sudah berlangganan platform berbayar untuk memastikan musik yang didengar penumpang mereka bebas iklan.

Ini artinya para pengusaha angkutan sudah memiliki kesadaran pentingnya apresiasi kepada pemilik hak cipta maupun hak terkait.

Maka, dibanding menagih secara membabi-buta, LMKN ataupun lembaga yang terkait lainnya lebih baik membuat regulasi pemutaran musik legal di bus.

Dengan demikian, maka pemilik hak cipta atau hak terkait tetap mendapatkan bagian, dan penumpang maupun kru angkutan umum tidak kehilangan hiburan mereka.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!