Bagaimana Cara LMKN Menghitung Royalti Musik untuk Kafe dan Restoran?

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjelaskan perhitungan royalti yang berlaku untuk kafe dan restoran yang memutar musik secara komersial.
LMKN berharap, dengan penjelasan ini, para pelaku usaha dapat memahami cara yang benar dalam membayar royalti dan menghindari anggapan bahwa pembayaran royalti adalah beban.
Mereka juga mendorong pelaku usaha untuk memutar lebih banyak lagu-lagu Indonesia melalui lisensi resmi.
Perhitungan Berdasarkan Okupansi Kafe dan Restoran
Menurut Yessy Kurniawan, Komisioner LMKN, perhitungan royalti musik didasarkan pada tingkat keterisian kursi atau okupansi kafe dan restoran.
“Performing rights management ini sudah dimulai sejak 1991, dan tingkat hunian menjadi prioritas dalam perhitungannya,” ungkap Yessy.
Yessy memberi contoh bagaimana perhitungan royalti dilakukan berdasarkan okupansi harian, di mana pengelola kafe diminta untuk melaporkan rata-rata okupansi kursi setiap harinya.
“Misalnya begini. Hari pertama dari 100 kursi, hanya terisi 10 dari 100 . Hari kedua, 30 kursi yang terisi. Nah, ini biasanya sudah tercatat oleh manajemen kafe. Ini yang akan kita tanyakan, terang Yessy.
“Kita kan tidak tahu secara langsung. Dari luar, kita hanya melihat ada 100 kursi,” tambah Yessy.
Penjelasan LMKN tentang Transparansi Perhitungan
Yessy menegaskan bahwa sistem perhitungan royalti ini tidak dilakukan sembarangan. “Tingkat hunian itu yang hanya diketahui pemilik kafe. Kami hanya memberikan formulir untuk diisi,” jelasnya.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses perhitungan royalti berjalan transparan dan adil, sehingga tidak terkesan seperti pemaksaan atau ketidakadilan bagi pelaku usaha.
Tarif Royalti untuk Penggunaan Musik Secara Komersial
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti yang dikenakan kepada kafe dan restoran adalah sebagai berikut:
- Royalti untuk pencipta lagu sebesar Rp60.000 per kursi per tahun
- Royalti untuk hak terkait sebesar Rp60.000 per kursi per tahun
Protes Terhadap Tarif Royalti untuk UMKM
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Evita Nursanty, menilai bahwa tarif royalti saat ini tidak bisa diterapkan secara seragam, terutama untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ia berpendapat bahwa perlu adanya klasifikasi tarif berdasarkan jenis pemanfaatan dan skala usaha.
“Pendekatan satu tarif untuk semua tidak bisa diterapkan. Harus ada keadilan dan keberpihakan, terutama terhadap UMKM,” ujar Evita dalam siaran pers yang diterima Kompas.com.
Kekhawatiran Pelaku UMKM tentang Royalti
Evita juga menyoroti bahwa banyak pelaku UMKM, seperti pemilik kafe kecil, penyanyi lepas, dan penyelenggara acara lokal, merasa cemas akan dikenakan royalti secara mendadak.
Mereka khawatir pembayaran royalti dapat menghambat kegiatan kreatif dan usaha kecil mereka. “Semangat melindungi karya harus dijaga, namun jangan sampai pelaksanaannya membebani rakyat,” tambahnya.
Isu kewajiban royalti musik bagi usaha seperti kafe dan restoran membuat beberapa pengusaha mencari alternatif untuk menghindari potensi sanksi, seperti mengganti lagu-lagu Indonesia dengan musik instrumental atau lagu berbahasa asing.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul dan Polemik Pembayaran Royalti, Skema Satu Tarif Dinilai Tak Bisa Diterapkan.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!