Kafe dan Restoran Mulai Setop Live Music karena Was-was Ditagih Royalti

Polemik tarif royalti musik yang kian luas dalam beberapa bulan terakhir mulai berdampak langsung pada pola hiburan di kafe dan restoran.
Jika sebelumnya live music dan home band menjadi daya tarik utama untuk menghidupkan suasana, kini pelaku usaha kafe dan restoran mulai memilih meniadakannya.
"Malah banyak yang lebih khawatir (soal royalti musik) karena kami (restoran/kafe) biasa menerima grup musik, pakai home band segala macam, sekarang menjadi rumit," kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/8/2025).
Kenapa Kafe Hentikan Live Music?
Keputusan ini diambil bukan karena tren live music sudah tidak diminati, melainkan karena kekhawatiran terhadap risiko hukum dan beban biaya yang harus ditanggung.
Yusran menuturkan bahwa situasi ini dialami oleh ratusan anggota PHRI di berbagai daerah. Dari sekitar 300 anggota yang baru saja ditemuinya, sebagian memilih tetap memutar musik sambil membayar royalti, sementara lainnya mengambil langkah menyetop musik sepenuhnya.
Bagi pelaku usaha, risiko ini bukan hanya soal uang, tetapi juga potensi berurusan dengan hukum yang bisa mengganggu operasional bisnis. Yusran menyebut, banyak yang enggan mengambil risiko tersebut, apalagi dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit.
"Mereka khawatir, mereka juga enggak mau berurusan dengan hukum. Orang lagi susah, mau berurusan dengan hukum (karena royalti musik) kan malas," ungkap Yusran.
Untuk mengganti hiburan musik, sebagian kafe dan restoran kini mengandalkan fasilitas non-musik, seperti menyediakan jaringan internet gratis agar pengunjung bisa memutar lagu dari perangkat masing-masing.
Ada juga yang mencoba menghadirkan suasana berbeda dengan memutar suara kicau burung atau gemericik air. Namun, langkah ini pun ternyata tidak sepenuhnya bebas dari kewajiban royalti musik kafe.
Ilustrasi cafe live music.
Berapa Tarif Royalti Kafe dan Restoran?
Kewajiban membayar royalti musik restoran dan kafe yang memutar musik bukanlah hal baru. Aturannya tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Selain itu, detail tarif tercatat dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait musik dan lagu. Berdasarkan ketentuan ini, pemilik usaha yang memutar musik wajib membayar dua jenis royalti:
- Royalti Pencipta sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun
- Royalti Hak Terkait sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun
- Totalnya menjadi Rp 120.000 per kursi per tahun.
- Dengan perhitungan ini, sebuah restoran berkapasitas 100 kursi bisa dikenai kewajiban royalti hingga Rp 12 juta per tahun.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjadi pihak yang menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta lagu dan pemilik hak terkait.
Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik, sekaligus memudahkan pemilik usaha karena tidak perlu mengurus lisensi langsung kepada setiap pencipta lagu.
Namun, di lapangan, biaya ini tetap dirasa berat oleh sebagian pelaku usaha, apalagi bagi mereka yang mengandalkan hiburan musik hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai sumber pendapatan utama.
"Pesannya, pelaku usaha jangan main-main dengan urusan seperti ini. Kalau memang mau memutar musik atau menyelenggarakan musik, dia harus bayar," kata Yusran.
Kondisi ini membuat sebagian pemilik usaha menilai, meniadakan musik sama sekali lebih efisien dibanding memutar lagu dan menanggung biaya royalti musik tahunan.
Apakah Lagu AI Kena Royalti?
Melihat beban biaya yang tinggi, sejumlah kafe dan restoran mulai mencari alternatif hiburan yang dianggap lebih hemat dan aman secara hukum. Salah satu tren yang mulai dilirik adalah memutar lagu hasil ciptaan kecerdasan buatan (AI).
Harapannya, musik AI bisa menghindarkan pelaku usaha dari kewajiban membayar royalti, karena tidak diciptakan oleh manusia.
Namun, PHRI mengingatkan bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Yusran menegaskan bahwa pelaku usaha perlu memahami aturan yang berlaku sebelum memutuskan langkah ini.
"Masyarakat itu perlu edukasi karena pemahamannya beragam. Kita hanya perlu memahami satu hal sesuai aturan yang tertulis," kata Yusran.
Lebih jauh, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa setiap rekaman suara yang diproduksi seseorang atau perusahaan, baik itu musik, suara burung, gemericik air, tetap masuk dalam kategori rekaman fonogram yang dilindungi hak terkait.
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” ujarnya.
Ahmad Dhani saat ditemui di FX Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2024).
Bagaimana Sikap Musisi?
Di tengah situasi ini, beberapa musisi memilih memberikan kelonggaran. Ahmad Dhani, misalnya, menggratiskan lagu-lagu Dewa 19 untuk kafe atau restoran yang menghubungi akun resmi Dewa 19 di Instagram.
“Restoran yang punya banyak cabang dan ingin nge-play lagu Dewa 19 (Dewa 19 feat. Virzha-Ello), Ahmad Dhani sebagai pemilik master kasi gratis kepada yang berminat,” tulis Dhani.
Langkah serupa dilakukan vokalis Juicy Luicy, Uan Kaisar, yang memperbolehkan lagu-lagu grupnya dibawakan bebas di acara live music tanpa tuntutan royalti.
“Live music di kafe boleh dibawain, kapan aku nuntut royalti dari yang manggung di kafe. Boleh, bawain aja tuh di kafe, kalian dengerin Juicy Luicy aja,” kata Uan.
Meski demikian, kebijakan sukarela dari musisi ini sifatnya terbatas dan tidak berlaku untuk semua lagu komersil, sehingga pelaku usaha tetap perlu berhati-hati mengatur hiburan musik di tempat mereka. (KOMPAS,com/Krisda Tiofani, Yoga Sukmana)
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!