Lumpia Semarang, Warisan Budaya UNESCO dan Ikon Kuliner Jawa Tengah

Lumpia, warisan budaya UNESCO, lumpia basah, sejarah lumpia semarang, lumpia goreng, lumpia khas semarang, asal usul lumpia semarang, Lumpia Semarang, Warisan Budaya UNESCO dan Ikon Kuliner Jawa Tengah, Asal-usul dan Filosofi di Balik Nama Lumpia, Sejarah Lumpia Semarang dari Kisah Cinta Lintas Budaya, Dinasti Lumpia Gang Lombok dan Resep Autentik yang Terjaga, Variasi Lumpia Basah dan Goreng yang Jadi Favorit Wisatawan, Lumpia sebagai Simbol Harmoni Sosial dan Budaya

Lumpia semarang adalah kudapan tradisional yang telah lama menjadi ikon kuliner yang melekat pada identitas Kota Semarang, Jawa Tengah.

Karena kepopulerannya, Kota Semarang juga dikenal dengan julukan sebagai Kota Lumpia.

Lebih dari sekadar makanan ringan, lumpia mencerminkan sejarah panjang akulturasi budaya, keberanian untuk berinovasi, sekaligus perannya sebagai jembatan sosial yang mempersatukan berbagai etnis.

Pada 2014, lumpia semarang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO.

Pengakuan tersebut menegaskan bahwa lumpia bukan hanya makanan khas daerah, melainkan juga warisan budaya yang sarat nilai historis, filosofis, dan sosial.

Asal-usul dan Filosofi di Balik Nama Lumpia

Istilah "lumpia" berasal dari dialek Hokkian, gabungan kata "lun" atau "lum" yang berarti lembut, dan "pia" yang berarti kue.

Makna "kue lembut" sesuai dengan resep awal lumpia yang sejatinya disajikan tanpa digoreng.

Namun, seiring proses akulturasi dengan budaya Jawa, lumpia kemudian hadir pula dalam bentuk goreng yang renyah.

Selain nama, bentuk lumpia yang panjang dan berwarna keemasan saat digoreng diyakini melambangkan harapan akan rezeki dan kemakmuran.

Filosofi ini berasal dari tradisi Tionghoa, di mana lumpia kerap disajikan saat Imlek sebagai simbol keberuntungan.

Seiring meluasnya penerimaan, makna simbolik tersebut tidak hanya dimaknai masyarakat Tionghoa, melainkan juga menjadi harapan universal yang diapresiasi semua kalangan di Semarang.

Sejarah Lumpia Semarang dari Kisah Cinta Lintas Budaya

Dilansir dari Antara, kisah lumpia semarang bermula pada abad ke-19, berawal dari sebuah romansa yang melandasi lahirnya kuliner lintas budaya.

Cerita ini berpusat pada pertemuan seorang pedagang asal Fujian, China, bernama Tjoa Thay Joe, dengan Wasih, pedagang pribumi Jawa.

Tjoa Thay Joe berjualan hidangan khas Tionghoa berupa gulungan berisi rebung dan daging babi.

Sementara itu, Wasih menawarkan makanan serupa dengan rasa lebih manis, berisi kentang dan udang.

Pertemuan keduanya terjadi di Olympia Park, pasar malam Belanda yang kala itu menjadi pusat hiburan dan perdagangan di Semarang.

alih bersaing, mereka justru menjalin hubungan asmara yang berakhir di pelaminan.

Setelah menikah, pasangan ini menggabungkan usaha sekaligus resep mereka, melahirkan hidangan baru yang merepresentasikan perpaduan budaya Jawa dan Tionghoa.

Lumpia, warisan budaya UNESCO, lumpia basah, sejarah lumpia semarang, lumpia goreng, lumpia khas semarang, asal usul lumpia semarang, Lumpia Semarang, Warisan Budaya UNESCO dan Ikon Kuliner Jawa Tengah, Asal-usul dan Filosofi di Balik Nama Lumpia, Sejarah Lumpia Semarang dari Kisah Cinta Lintas Budaya, Dinasti Lumpia Gang Lombok dan Resep Autentik yang Terjaga, Variasi Lumpia Basah dan Goreng yang Jadi Favorit Wisatawan, Lumpia sebagai Simbol Harmoni Sosial dan Budaya

Ilustrasi lumpia basah isi sayur.

Perubahan paling besar ada pada penggantian daging babi dengan ayam atau udang, sambil tetap mempertahankan rebung sebagai isian utama.

Langkah ini bukan sekadar penyesuaian rasa, melainkan strategi cerdas yang menyesuaikan dengan kondisi sosial dan agama masyarakat setempat.

Dengan menghilangkan daging babi, lumpia menjadi lebih mudah diterima kalangan pribumi Jawa yang mayoritas beragama Islam.

Transformasi tersebut menjadikan lumpia bukan lagi sekadar makanan etnis, melainkan santapan bersama yang dinikmati seluruh lapisan masyarakat.

Kisah cinta Tjoa Thay Joe dan Wasih tidak hanya menciptakan resep baru, tetapi juga membuka jalan bagi lumpia untuk terus beradaptasi, memperluas pasar, dan menjadi simbol nyata harmoni budaya di Semarang.

Nama lumpia semakin dikenal luas ketika Jakarta menjadi tuan rumah Games of the New Emerging Forces (GANEFO) pada 1963.

Di ajang olahraga internasional itu, banyak pedagang menjajakan lumpia semarang, sehingga cita rasanya dikenal para peserta maupun pengunjung dari berbagai negara.

Dinasti Lumpia Gang Lombok dan Resep Autentik yang Terjaga

Kesuksesan Tjoa Thay Joe dan Wasih tidak berhenti begitu saja, namun juga diteruskan oleh anak-anak mereka.

Siem Gwan Sing dan Siem Hwa Noi membuka usaha lumpia di kawasan Mataram, sementara Siem Swie Kiem melanjutkan bisnis keluarga di Gang Lombok Nomor 11.

Meski tak banyak yang tahu, dari sanalah lahir dinasti lumpia legendaris di Semarang.

Lumpia Gang Lombok kini dikelola generasi keempat, Purnomo Husodo atau Untung, dan dikenal sebagai salah satu yang tertua di Semarang dengan usia mencapai lebih dari satu abad.

"Lumpia ini enggak tahu sudah berapa tahun, yang jelas saya generasi keempat. Saya diwarisi bapak, saat bapak sudah berumur 50-an juga. Kalau dihitung dari keluarga pertama sudah satu abad lebih," kata Untung pada 26 Agustus 2025.

Ia juga menegaskan bahwa lumpia memang berawal dari kisah cinta Tjoa Thay Joe dan Wasih.

Ciri khas Lumpia Gang Lombok terletak pada komitmen menjaga resep autentik warisan leluhur.

Di tengah maraknya kreasi baru, mereka memilih mempertahankan orisinalitas sebagai identitas utama.

Menurut Vincen Setiawan Husodo, putra Untung, konsistensi itu memang disengaja.

"Kalau kita menunya original saja, cuma ada yang goreng atau basah. Kita memang ingin mempertahankan yang original ini, sih," ujarnya.

Sementara itu, penjual legendaris lain seperti Loenpia Mbak Lien dan Lunpia Cik Me Me menawarkan inovasi dengan aneka isian modern.

Hal ini mencerminkan dua pendekatan berbeda: menjaga tradisi dan merangkul inovasi.

Keduanya sama-sama sukses menunjukkan bahwa lumpia semarang mampu menampung ruang untuk nostalgia sekaligus pembaruan.

Variasi Lumpia Basah dan Goreng yang Jadi Favorit Wisatawan

Saat ini, lumpia semarang hadir dalam dua cara pengolahan dan penyajian yaitu basah dan goreng.

Lumpia basah yang tidak digoreng memiliki teksturnya lembut, kenyal, dan sebaiknya langsung disantap karena hanya tahan sekitar 8–12 jam di suhu ruang.

Sebaliknya, lumpia goreng dimasak hingga kulitnya garing berwarna cokelat keemasan, dengan daya simpan hingga 24 jam.

Wisatawan umumnya memilih lumpia goreng sebagai buah tangan, sementara lumpia basah lebih pas untuk disantap langsung di tempat.

Isian khas lumpia semarang berupa rebung muda, telur orak-arik, daging ayam atau udang, serta bumbu pilihan.

Penggunaan rebung segar membuat teksturnya tetap renyah tanpa rasa pahit.

Lumpia sebagai Simbol Harmoni Sosial dan Budaya

Lumpia bukan hanya makanan lezat, tetapi juga sarana integrasi sosial.

Cita rasanya yang sederhana dan bisa dinikmati semua kalangan menjadikannya jembatan antara masyarakat Tionghoa peranakan dan pribumi.

Melalui lumpia, nilai-nilai budaya berpadu, menciptakan harmoni yang dirasakan bersama.

Pada era Orde Baru, ketika ekspresi budaya Tionghoa dibatasi, lumpia tetap lestari.

Saat kesenian seperti barongsai dilarang, makanan ini tetap berkembang dan diterima luas.

Fenomena tersebut memperlihatkan lumpia sebagai wujud soft power atau diplomasi budaya yang halus namun kuat.

Lumpia, warisan budaya UNESCO, lumpia basah, sejarah lumpia semarang, lumpia goreng, lumpia khas semarang, asal usul lumpia semarang, Lumpia Semarang, Warisan Budaya UNESCO dan Ikon Kuliner Jawa Tengah, Asal-usul dan Filosofi di Balik Nama Lumpia, Sejarah Lumpia Semarang dari Kisah Cinta Lintas Budaya, Dinasti Lumpia Gang Lombok dan Resep Autentik yang Terjaga, Variasi Lumpia Basah dan Goreng yang Jadi Favorit Wisatawan, Lumpia sebagai Simbol Harmoni Sosial dan Budaya

Ilustrasi lumpia.

Kini, lumpia semarang telah melampaui perannya sebagai makanan sehari-hari. Ia menjadi artefak hidup yang merekam jejak sejarah, proses akulturasi, sekaligus simbol kerukunan.

Berawal dari kisah cinta dua budaya, lumpia tumbuh menjadi kuliner lintas generasi yang diterima masyarakat luas.

Dari resep tradisional hingga varian modern, serta dari teknik sederhana hingga inovasi pengemasan, lumpia terbukti mampu mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri.

Pengakuan UNESCO pada 2014 mempertegas nilai penting lumpia semarang sebagai warisan budaya takbenda sekaligus daya tarik wisata yang mendunia.

Pada akhirnya, lumpia semarang adalah bukti nyata kekuatan kuliner sebagai perekat sosial yang melampaui perbedaan etnis, agama, maupun zaman.

Makanan ini terus hidup, diwariskan, dan dirayakan oleh setiap generasi yang datang ke Kota Semarang.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.