FOBO: Terlalu Banyak Pilihan, Terlalu Banyak Keraguan

DI ERA modern yang penuh berbagai pilihan, kita justru sering diliputi keraguan mengambil keputusan, baik keputusan kecil dalam keseharian maupun keputusan besar yang menentukan arah hidup.
Sebagai contoh, kita sering kali bimbang saat memilih makanan di aplikasi layanan pesan-antar. Banyaknya pilihan justru membuat kita ragu untuk menentukan apa yang akan kita makan.
Tidak hanya itu, kita juga sering kali mempertimbangkan biaya operasional serta ongkos kirim yang berbeda-beda di setiap aplikasi, menambah keraguan dalam pengambilan keputusan.
Tersedianya berbagai pilihan membuat kita sering terjebak dalam ketakutan bahwa akan ada opsi yang lebih baik di luar sana. Fenomena ini disebut Fear of Better Option (FOBO).
Istilah FOBO diciptakan Patrick McGinnis pada 2004, yang juga mencetuskan istilah FOMO (Fear of missing out) yang sudah tidak asing di telinga kita.
Menurut McGinnis, FOBO merupakan “mekanisme penanggulangan” yang biasa manusia lakukan untuk mengatasi rasa takut dalam membuat keputusan yang salah jika “sesuatu yang lebih baik datang”.
McGinnis mengatakan bahwa FOBO adalah bentuk “penderitaan akibat kemakmuran”, terutama dialami oleh mereka yang memiliki keistimewaan, seperti kekuasaan dan kekayaan sehingga memberi mereka terlalu banyak pilihan.
Oleh karena itu, FOBO sering dijadikan alasan, baik oleh perusahaan besar maupun individu untuk menunda keputusan atau menghindari tindakan dengan dalih masih mencari opsi terbaik.
Di era digital, FOBO semakin diperparah oleh melimpahnya informasi. Media sosial dan internet terus-menerus menyajikan opsi baru, membuat seseorang semakin ragu dengan keputusan yang sudah didapatkan.
Secara psikologis, konsep FOBO dapat dijelaskan melalui konsep “The Paradox of Choice” yang diperkenalkan oleh psikolog Barry Schwartz ketika menerbitkan buku berjudul The Paradox of Choice: Why More is Less pada 2004.
Saat tiba di bagian produk susu, ia melihat ada banyak pilihan. Sekarang bukan hanya perlu memilih kadar lemaknya (1 persen, 2 persen, skim, dll.), tetapi juga sumber susunya, apakah dari sapi, almon, kedelai, oat, dan lainnya.
Dengan begitu banyak opsi, ia hanya dapat berdiri terpaku, ragu harus memilih yang mana karena merasa kewalahan. Fenomena inilah yang disebut the paradox of choice.
Paralisis dalam pengambilan keputusan dapat membuat individu menjadi tidak mengambil keputusan sama sekali karena merasa terjebak dalam banyaknya pilihan yang tersedia.
Selain itu, melimpahnya pilihan juga dapat membuat individu lebih mudah menyalahkan diri sendiri jika merasa telah memilih opsi yang kurang tepat. Hal ini dapat memicu penyesalan, kecemasan, dan stres, sehingga kepuasan setelah mengambil keputusan pun menurun.
“Belajar memilih itu sulit. Belajar memilih dengan baik lebih sulit. Dan belajar memilih dengan baik di dunia dengan kemungkinan yang tak terbatas lebih sulit lagi, mungkin terlalu sulit.” – Barry Schwartz dalam bukunya The Paradox of Choice.
Pertama, kurangi pilihan yang tidak diperlukan. Semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin sulit untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, batasi jumlah opsi yang dipertimbangkan agar tidak merasa kewalahan.
Kedua, tetapkan batas waktu untuk memilih. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam proses pemilihan yang terlalu lama. Buatlah batas waktu agar dapat segera mengambil keputusan.
Ketiga, sadari bahwa tidak ada keputusan yang sempurna. Setiap pilihan memiliki sisi positif dan negatif. Dengan memahami hal ini, kita dapat lebih lapang dalam menerima keputusan yang telah dibuat tanpa terus-menerus mempertanyakannya.
Keempat, fokus pada manfaat jangka panjang. Alih-alih mencari pilihan terbaik, pertimbangkan apa yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuan saat ini.
Oleh karena itu, penting untuk fokus pada apa yang benar-benar penting dalam jangka panjang, bukan hanya pilihan yang terlihat lebih baik saat ini.
Dengan memahami FOBO dan menerapkan beberapa strategi ini, kita dapat mengambil keputusan dengan lebih percaya diri tanpa terjebak dalam keraguan yang tidak perlu.