Dirut Sritex Dicegah ke Luar Negeri

Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto, mengaku tidak mempersoalkan langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mencegah dirinya bepergian ke luar negeri terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian kredit dari sejumlah bank kepada Sritex.
Iwan menilai kebijakan itu justru dapat mempercepat proses hukum.
"Enggak apa-apa. Ini kan untuk mempercepat (proses hukum), ya saya jalani saja. Saya enggak ada masalah," ujar Iwan saat ditemui di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (10/6/2025).
Hari ini, Iwan menjalani pemeriksaan keduanya oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dalam perkara dugaan korupsi kredit kepada Sritex.
Ia menyebut membawa sejumlah dokumen untuk mendukung penyidikan. “(Bawa) dokumen yang diminta masih terkait dengan perkara,” ujarnya.
Sudah Diperiksa Sejak 2 Juni
Sebelumnya, Iwan Kurniawan Lukminto telah diperiksa penyidik pada Senin (2/6/2025). Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar membenarkan bahwa pihaknya telah mencegah Iwan ke luar negeri sejak 19 Mei 2025.
"Iya, sejak 19 Mei 2025, untuk mempermudah penyidikan, sewaktu-waktu keterangannya dibutuhkan penyidik," kata Harli kepada Kompas.com, Senin (9/6/2025).
Langkah ini dilakukan untuk mendukung kelancaran penyidikan kasus kredit macet Sritex yang berasal dari sejumlah bank pemerintah dan bank daerah.
Dalam kasus korupsi pemberian kredit kepada Sritex, Kejagung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Ketiganya adalah:
- Dicky Syahbandinata (DS), selaku Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) tahun 2020.
- Zainuddin Mappa (ZM), selaku Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020.
- Iwan Setiawan Lukminto (ISL), selaku Direktur Utama PT Sritex periode 2005–2022.
Ketiganya telah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan guna proses penyidikan.
Kredit Macet Sritex Capai Rp 3,58 Triliun
Berdasarkan konstruksi perkara yang diungkap penyidik, total kredit macet Sritex diperkirakan mencapai Rp 3,58 triliun. Jumlah itu mencakup pinjaman dari beberapa bank yang diduga bermasalah dalam proses pemberiannya.
Adapun rincian kredit bermasalah tersebut adalah:
- Bank BJB dan Bank DKI memberikan pinjaman senilai Rp 692 miliar, yang kini telah ditetapkan sebagai kerugian keuangan negara akibat gagal bayar.
- Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng) memberikan kredit sebesar Rp 395.663.215.800.
- Sindikasi yang terdiri dari Bank BNI, salah satu bank BUMN dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) turut memberikan kredit dengan total senilai Rp 2,5 triliun.
Meski begitu, status Bank Jateng, BNI, dan LPEI san salah satu bank BUMN dalam perkara ini masih sebagai saksi, berbeda dengan Bank BJB dan Bank DKI yang telah ditemukan adanya unsur melawan hukum.
Hingga saat ini, PT Sritex tidak dapat melakukan pembayaran atas kredit-kredit tersebut karena sudah dinyatakan pailit sejak Oktober 2024.
Akibatnya, kewajiban pembayaran kepada para kreditur tidak terpenuhi dan menimbulkan kerugian keuangan negara.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kejagung menyatakan penyidikan masih terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru dalam perkara ini.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul