DPR Ingatkan Kajian Mendalam Sebelum Kebijakan Pajak Rumah Tapak untuk Hunian Vertikal

DPR Ingatkan Kajian Mendalam Sebelum Kebijakan Pajak Rumah Tapak untuk Hunian Vertikal

Usulan Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah, untuk mengenakan pajak tinggi pada rumah tapak di perkotaan guna mendorong masyarakat beralih ke hunian vertikal menuai sorotan tajam.

Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menegaskan bahwa pendekatan represif semacam itu bukanlah solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat.

“Mungkin niatnya supaya Indonesia semakin modern seperti negara-negara maju, tapi harus dilihat dulu, Indonesia sudah siap belum? Banyak infrastruktur pendukung dan fasilitas layanan belum optimal,” ujar Irine dalam keterangannya, Selasa (17/6).

Ia berpendapat bahwa transisi dari rumah tapak ke hunian vertikal seharusnya berjalan bertahap dan alami, tanpa dipaksakan melalui kebijakan fiskal.

Hal ini penting mengingat kuatnya nilai-nilai sosial seperti gotong royong dan ronda yang masih dipegang teguh oleh banyak masyarakat Indonesia, sesuatu yang mungkin sulit diterapkan di lingkungan hunian vertikal yang cenderung lebih tertutup.

Politisi PDI-Perjuangan ini juga menekankan perlunya kajian mendalam dan keterlibatan pemangku kepentingan seperti pengembang, BPN, masyarakat, dan pemerintah daerah sebelum menerapkan kebijakan sebesar ini.

Ia memperingatkan agar tidak membuat kebijakan yang hanya bersifat coba-coba, terutama jika tidak mempertimbangkan kondisi budaya Indonesia yang memiliki tingkat sosial kemasyarakatan tinggi.

Irine mengakui bahwa perubahan kultur ke arah hunian vertikal memang mungkin terjadi seiring waktu, seperti yang terlihat di negara-negara maju dan beberapa kelompok masyarakat Indonesia yang sudah memilih apartemen.

Namun, ia menegaskan bahwa proses ini memerlukan waktu dan tidak bisa dipaksakan secara instan melalui kenaikan pajak rumah tapak. Kebijakan semacam itu justru dikhawatirkannya dapat menimbulkan efek domino negatif.

Lebih lanjut, Irine menilai bahwa pendekatan represif seperti menaikkan pajak rumah tapak untuk memaksa masyarakat tinggal di rusun atau apartemen tidak akan berkelanjutan. Alih-alih mendorong adaptasi, kebijakan ini justru berpotensi menekan daya beli masyarakat dan membuat pasar properti domestik menjadi tidak kompetitif.

“Kalau pajaknya mahal, tentu saja masyarakat akan menunda pembelian rumah tapak. Akibatnya, pengembang yang selama ini menggantungkan bisnisnya pada segmen rumah tapak bisa mengalami kerugian besar, bahkan gulung tikar. Jangan sampai niat mengubah pola huni malah merusak ekosistem usaha properti yang sudah terbentuk,” tambahnya.

Irine menekankan bahwa kebutuhan akan rumah tapak tetap tinggi, terutama bagi keluarga muda dan masyarakat kelas menengah yang mencari ruang lebih luas, privasi, dan keamanan fleksibel.

Oleh karena itu, diperlukan kepastian regulasi dan arah kebijakan yang matang serta konsisten dalam sektor properti yang menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

"Jangan ganggu stabilitas industri properti hanya karena ingin mempercepat perubahan pola hidup secara instan,” pungkasnya.