Ratusan Sopir Truk Demo Tolak ODOL di Surabaya, Bentangkan Bendera Merah Putih 1.000 Meter

Ratusan sopir truk yang tergabung dalam Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT) menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Surabaya, Kamis (19/6/2025), menolak kebijakan Over Dimension and Over Loading (ODOL) yang dinilai tidak adil dan menyasar sopir kecil.
Aksi yang diikuti sekitar 1.200 sopir dari 84 elemen komunitas sopir truk di Jawa Timur ini dimulai dengan long march dari Mal City of Tomorrow (Cito), Waru, Sidoarjo, menuju Markas Polda Jawa Timur. Dalam unjuk rasa ini, para sopir membentangkan kain Bendera Merah Putih sepanjang 1.000 meter sebagai simbol nasionalisme dan duka mereka terhadap situasi yang menimpa para sopir.
"Di depan Cito, kami akan berhenti lalu menggelar bendera 1.000 meter untuk long march menuju ke Kantor Dishub Jatim dan Mapolda Jatim. Bendera kami akan naikkan. Lalu kami bergerak ke Kantor Gubernur," ujar Ketua GSJT, Angga Firdiansyah, Rabu (18/6/2025).
785 Truk Turut Serta
Aksi long march ini melibatkan sedikitnya 785 truk dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Para sopir memulai pergerakan mereka dari berbagai titik kumpul, antara lain Pasar Puspa Agro di Sidoarjo, Pertigaan Jalan Margomulyo dan Jalan Greges Barat Surabaya (massa dari Gresik, Lamongan, dan Tuban), serta sekitar Pelindo Place Office Tower di Jalan Perak Timur Surabaya (massa dari Madura).
Mereka membawa sejumlah tuntutan, termasuk menyoroti penerapan Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang menurut para sopir hanya mengatur perubahan fisik kendaraan dan tidak menyentuh persoalan muatan berlebih.
"Semua yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 secara keseluruhan itu yang terdampak langsung adalah teman-teman sopir. Sedangkan pihak pengusaha atau penyedia muatan itu tidak pernah tersentuh," tegas Angga.
Tuntutan Regulasi Ongkos Logistik hingga Aksi Premanisme
Para sopir juga mendesak pemerintah menerbitkan regulasi mengenai tarif minimal pengangkutan logistik. Selama ini, kata Angga, banyak pengusaha menentukan tarif semena-mena, tanpa mempertimbangkan beban kerja dan risiko yang harus ditanggung para sopir di lapangan.
"Selama ini yang punya barang selalu seenaknya sendiri. Muatannya harus banyak dan ongkosnya semau mereka," ungkapnya.
Kondisi tersebut, lanjut Angga, membuat sopir kerap menjadi korban dan dituduh melanggar ketentuan ODOL, padahal keputusan soal muatan dan ongkos bukan berasal dari mereka.
Selain soal ODOL dan tarif logistik, GSJT juga menyoroti maraknya aksi premanisme terhadap sopir di jalan. Tak hanya dilakukan oleh pelaku kriminal, namun juga diduga dilakukan oleh oknum aparat dalam bentuk pungutan liar.
"Kadang memang aksi itu dilakukan oleh beberapa oknum. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Jawa Timur, tapi juga di provinsi lain," ucap Angga.
GSJT juga menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum. Menurut Angga, aparat lebih sering menindak sopir individu atau dari perusahaan kecil, sementara perusahaan besar justru seolah kebal dari hukum.
"Perlakuan terhadap PT-PT besar itu berbeda. Mereka muatannya lebih banyak tapi tetap dibiarkan berlalu lalang," tambahnya.
Aksi kali ini juga diwarnai teatrikal arak-arakan keranda mayat yang dibungkus kain putih bertuliskan "Turut Berduka Matinya Keadilan Bagi Sopir".
Simbol ini dibawa bersama bentangan Bendera Merah Putih sejauh satu kilometer dari jembatan penyeberangan orang (JPO) hingga depan Kantor Dishub Jatim.
Puluhan sopir memegang sisi-sisi bendera tersebut sambil berorasi mengikuti lantunan musik dari truk komando.
Jika tuntutan tidak direspons, para sopir mengancam akan melanjutkan aksi hingga Sabtu (21/6/2025) dan bermalam di depan Kantor Gubernur Jawa Timur.
"Kami akan tetap bertahan sampai ada kesepakatan. Jika tidak, kami akan bermalam di sana," pungkas Angga.
Artikel ini telah tayang di Tribun Jatim.comdengan dengan judul Sopir Truk Bentangkan Bendera Merah Putih Sepanjang 1 Km dan Arak Keranda hingga Kantor Dishub Jatim