Adopsi 5G Indonesia Diprediksi 32 Persen pada 2030, Tertinggal dari Negara Tetangga

Indonesia, GSMA, spektrum, Spektrum, gsma, Adopsi 5G Indonesia Diprediksi 32 Persen pada 2030, Tertinggal dari Negara Tetangga

Penetrasi jaringan seluler generasi kelima atau 5G di Indonesia diprediksi akan mencapai 32 persen pada tahun 2030 mendatang. 

Hal ini disampaikan dalam laporan "The Mobile Economy Asia Pacific 2025" yang dirilis asosiasi global untuk telekomunikasi seluler alias Global System for Mobile Communication Association (GSMA). 

Dalam laporan itu, disebutkan bahwa prediksi ini meningkat drastis dari angka adopsi 5G di Indonesia di tahun 2024 yang hanya ada di kisaran 4 persen. 

Meski demikian, prediksi angka penetrasi 5G di 2030 untuk Indonesia ini masih jauh lebih rendah dibanding negara lainnya.

Untuk negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang, hingga Australia, misalnya, adopsi 5G pada 2030 mendatang diprediksi berkisar di angka 87-94 persen. 

Prediksi adopsi 5G Indonesia di 2030 ini juga lebih rendah dibanding dengan prediksi penetrasi 5G pada 2030 mendatang di Filipina (46 persen), Malaysia (50 persen), India (57 persen), hingga Vietnam (62 persen).

Indonesia, GSMA, spektrum, Spektrum, gsma, Adopsi 5G Indonesia Diprediksi 32 Persen pada 2030, Tertinggal dari Negara Tetangga

Head of Asia Pacific GSMA, Julian Gorman dalam sesi Media Briefing virtual pada Senin (29/7/2025).

Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan, rendahnya angka prediksi penetrasi 5G di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor struktural.

Dua di antaranya adalah lambannya proses alokasi spektrum serta regulasi yang dinilai belum cukup mendukung percepatan investasi.

“Indonesia memiliki potensi besar sebagai ekonomi digital dan pusat manufaktur, tetapi adopsi 5G masih tertinggal. Hal ini bukan karena kurangnya teknologi atau talenta, melainkan karena kebijakan yang belum cukup progresif,” kata Julian dalam sesi Media Briefing GSMA Asia Pacific, Senin (29/7/2025).

Julian menambahkan, di Indonesia banyak operator seluler yang belum mendapatkan akses spektrum 5G secara penuh. Hal ini membuat peluncuran jaringan 5G masih terbatas di kota-kota besar saja. 

"Selain itu, biaya spektrum di Indonesia terlalu tinggi dan menjadi penghalang besar bagi operator untuk membangun jaringan 5G secara luas dan terjangkau," imbuh Julian. 

Faktor penghambat adopsi 5G

Indonesia, GSMA, spektrum, Spektrum, gsma, Adopsi 5G Indonesia Diprediksi 32 Persen pada 2030, Tertinggal dari Negara Tetangga

Proyeksi penetrasi 5G di Indonesia di 2030 mendatang dari GSMA.

Untuk mempercepat adopsi 5G, Julian mendorong pemerintah Indonesia untuk menerapkan berbagai pendekatan progresif, salah satunya seperti di Vietnam.

Di negara ini, pemerintah memberikan subsidi dan potongan harga spektrum hingga 90 persen kepada operator seluler.

Julian juga mencontohkan India yang memberikan subsidi kepada operator seluler untuk membangun jaringan di luar kewajiban dan lisensi yang mereka miliki. 

"Kebijakan-kebijakan seperti ini terbukti mampu mempercepat investasi, mempercepat pemerataan layanan 5G, dan mendorong transformasi digital nasional," ungkap Julian. 

Selain subsidi, Julian juga menyebut pemerintah untuk membuat sebuah kebijakan yang memungkinkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam 5G berkolaborasi. Hal ini bertujuan supaya potensi 5G bisa dipamerkan di berbagai use case.

Kemudian, ia juga menyebut pemerintah harus melihat konektivitas seluler bukan dari bisnisnya semata, melainkan juga sebagai fondasi bagi semua sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, manufaktur, dan lain sebagainya. 

“Jika tidak ada perubahan signifikan, maka kesenjangan atau digital divide akan semakin melebar. Artinya, kita akan melihat masyarakat kota yang sudah terkoneksi dengan 5G, sementara wilayah rural akan cukup tertinggal karena hanya bisa akses 4G,” kata Julian.

Indonesia penting bagi Asia Pasifik

Indonesia, GSMA, spektrum, Spektrum, gsma, Adopsi 5G Indonesia Diprediksi 32 Persen pada 2030, Tertinggal dari Negara Tetangga

Kontribusi Asia Pasifik terhadap ekonomi digital di bidang telekomunikasi seluler dari GSMA.

Dalam bisnis telekomunikasi seluler, GSMA menilai Indonesia merupakan negara yang penting bagi kawasan Asia Pasifik.

Julian memproyeksikan bahwa teknologi dan layanan seluler di kawasan Asia Pasifik akan menyumbang 1,4 triliun dollar AS pada tahun 2030. Angka ini naik dari kontribusi kawasan sebesar 950 miliar dollar AS yang tercatat pada 2024 lalu.

Selain dampak ekonomi langsung, ekosistem seluler mendukung sekitar 16 juta lapangan kerja (11 juta secara langsung dan 5 juta lainnya di industri terkait), serta menghasilkan

lebih dari 90 miliar dollar AS dalam bentuk pendanaan publik.

Angka ini merupakan untuk wilayah Asia Pasifik dan merupakan data pada 2024 lalu, dan pendanaan publik sendiri tak termasuk biaya spektrum dan regulasi.

Di sisi operator seluler, GSMA mencatat bahwa di kawasan Asia Pasifik mereka telah menginvestasikan hampir 220 miliar dollar AS untuk jaringan 5G antara tahun 2019 dan 2024. Pada tahun 2030, angka investasi ini akan bertambah sebesar 254 miliar dollar AS.

Nah, seluruh kontribusi di kawasan Asia Pasifik ini, menurut Julian, juga akan didukung oleh kontribusi dan perkembangan teknologi seluler yang ada di Indonesia. 

“Indonesia sudah di jalur yang benar dengan transformasi digital dan ekosistem teknologi yang berkembang. Sekarang tinggal bagaimana kebijakan mendukung inovasi dan investasi dengan lebih progresif,” jelas Julian.

“Indonesia bukan hanya penting untuk dirinya sendiri, tetapi juga penting bagi seluruh Asia Pasifik. Jika Indonesia berhasil, kawasan ini juga berhasil. Tapi jika Indonesia tertinggal dalam infrastruktur digital, seluruh kawasan ikut terdampak,” pungkas Julian.

Untuk lebih lengkapnya, laporan GSMA tentang The Mobile Economy Asia Pacific 2025 bisa diunduh di tautan berikut ini.