Hakim MK Sindir Gaduh Royalti: Harusnya WR Supratman Paling Kaya di Indonesia

Hakim MK, Indonesia Raya, WR Supratman, royalti lagu, hakim mk arief hidayat, Hakim MK Sindir Gaduh Royalti: Harusnya WR Supratman Paling Kaya di Indonesia, Indonesia Raya Dinilai Bisa Jadi Lagu Termahal, Gugatan Musisi terkait Pasal-Pasal Royalti, Hakim MK Ingatkan soal Pergeseran Nilai Seni, Gaduh Royalti, Lagu Tak Lagi Diputar di Kafe dan Restoran, Musisi: Kami Hanya Ingin Kepastian Hukum

Polemik soal kewajiban pembayaran royalti lagu kembali mencuat, bahkan menyeret musisi hingga ke meja Mahkamah Konstitusi (MK).

Di tengah perdebatan hukum yang memanas, pernyataan satir dari salah satu Hakim MK, Arief Hidayat, justru mencuri perhatian.

Dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang digelar Kamis (31/7/2025), Arief berseloroh soal bagaimana aturan royalti yang diterapkan secara harfiah bisa menimbulkan kekonyolan logis.

“Kalau kita mengikuti pasal ini secara leterlijk (harfiah), orang yang paling kaya di Indonesia adalah WR Supratman. Apalagi menjelang 17 Agustus, semuanya di Indonesia nyanyi Indonesia Raya,” kata Arief dalam siaran langsung Sidang Perkara Nomor 28, 37/PUU-XXIII/2025 yang ditayangkan YouTube Mahkamah Konstitusi, Kamis pekan lalu.

Indonesia Raya Dinilai Bisa Jadi Lagu Termahal

Arief melanjutkan sindirannya dengan menyebut bahwa jika logika aturan royalti diterapkan secara kaku, ahli waris WR Supratman seharusnya menjadi orang terkaya sejagat raya.

“Bayangkan lagu Indonesia Raya, sudah berapa tahun dinyanyikan oleh seluruh rakyat Indonesia dari PAUD sampai lembaga negara. Kalau ditafsir seperti sekarang, ahli warisnya itu paling kaya sedunia,” ucap Arief, memancing tawa di ruang sidang.

Gugatan Musisi terkait Pasal-Pasal Royalti

Pernyataan itu muncul di tengah sidang uji materi yang diajukan sejumlah musisi nasional. Raisa, Ariel NOAH, Armand Maulana, Nadin Amizah, hingga Bernadya menjadi bagian dari pemohon yang menggugat lima pasal dalam UU Hak Cipta.

Kelima pasal tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyulitkan para pencipta lagu untuk mengelola hak ekonominya secara adil.

Berikut pasal-pasal yang digugat:

  • Pasal 9 ayat (3): Melarang penggunaan komersial karya tanpa izin pencipta.
  • Pasal 23 ayat (5): Mengatur pembayaran royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
  • Pasal 81: Mengatur lisensi karya oleh pemegang hak cipta.
  • Pasal 87 ayat (1): Mewajibkan pencipta bergabung dengan LMK untuk bisa menarik royalti.
  • Pasal 113 ayat (2): Memberi ancaman pidana hingga 3 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta atas pelanggaran hak ekonomi.

Hakim MK Ingatkan soal Pergeseran Nilai Seni

Tak hanya mengomentari soal royalti Indonesia Raya, Hakim Arief juga menyinggung soal perubahan cara pandang terhadap seni.

Menurutnya, seniman zaman dulu menciptakan karya sebagai bentuk pengabdian untuk masyarakat, bukan demi keuntungan materi.

“Ciptaan-ciptaan yang dulu, apakah tari, lagu, atau seni lainnya, banyak yang anonim. Karena mereka tidak mengklaim itu ciptaan pribadi. Mereka membuatnya untuk masyarakat. Jadi pahalanya banyak, surga paling tinggi, tapi secara ekonomi tidak kaya,” kata Arief.

Ia mengingatkan bahwa jika gugatan ini mengarah pada kepentingan ekonomi semata, maka akan terjadi pergeseran ideologi ke arah kapitalisme yang individualistik dan jauh dari nilai gotong royong.

Gaduh Royalti, Lagu Tak Lagi Diputar di Kafe dan Restoran

Polemik soal royalti tak hanya berlangsung di ruang sidang.

Di lapangan, efeknya terasa. Banyak pelaku usaha seperti pemilik kafe, restoran, hingga hotel kini memilih berhenti memutar lagu karena takut dikenai royalti.

Bagi pelaku usaha, ketentuan yang mewajibkan pembayaran royalti untuk lagu yang diputar di ruang publik dianggap memberatkan dan membingungkan.

Musisi: Kami Hanya Ingin Kepastian Hukum

Di sisi lain, para musisi mengaku tidak menolak sistem royalti. Namun, mereka merasa sistem yang berlaku saat ini justru mengebiri hak-hak mereka sebagai pencipta karya.

Terutama karena aturan mewajibkan mereka menjadi anggota LMK agar bisa menagih royalti secara sah.

Bagi sebagian musisi, hal itu justru mengekang kemandirian dalam mengelola hak ekonomi dari karya sendiri.

Sumber: KOMPAS.TV

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!