Pemerintah Mau Evakuasi Warga Gaza, Legislator Malah Khawatir Indonesia Kena Getahnya

Pemerintah Mau Evakuasi Warga Gaza, Legislator Malah Khawatir Indonesia Kena Getahnya

Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini, menyuarakan kekhawatiran tentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza ke Pulau Galang.

Menurutnya, langkah ini bisa menjadi bumerang bagi perjuangan hak kembali (right of return) warga Palestina, karena Israel dapat menginterpretasikannya sebagai solusi permanen, bukan evakuasi sementara.

Amelia berpendapat bahwa akan lebih baik jika Indonesia mendorong negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, Qatar, atau Uni Emirat Arab untuk mengambil peran ini, mengingat kedekatan geografis dan historis mereka dengan Gaza, serta kapasitas yang lebih besar.

"Ketimbang Indonesia, justru mengambil langkah ekstrem dengan membawa korban konflik ke luar wilayah Timur Tengah," kata Amelia, Sabtu (9/8).

Dia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam solidaritas kemanusiaan ini, agar tidak merugikan Indonesia secara diplomasi.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah berdiskusi dengan DPR untuk memastikan kebijakan ini tidak berdampak negatif pada perjuangan Palestina dan kepentingan nasional Indonesia.

Amelia juga menyoroti perlunya kejelasan diplomatik, kesiapan teknis, dan pendekatan strategis yang matang sebelum mengambil langkah ini.

Ia mengingatkan agar niat baik pemerintah tidak sampai menimbulkan masalah domestik, seperti tekanan pada fasilitas, potensi konflik budaya, atau masalah keamanan, terutama jika evakuasi berlangsung terlalu lama.

"Jangan sampai niat baik ini malah mengganggu sistem domestik kita sendiri karena persoalan logistik yang belum matang," kata legislator yang membidangi urusan hubungan internasional, komunikasi, dan pertahanan itu.

Penanganan medis, kata dia, seharusnya bersifat sementara dengan waktu yang terukur dan koordinasi yang jelas bersama PBB, UNRWA, dan lembaga kemanusiaan internasional lainnya.

Bila nantinya evakuasi itu terlalu lama, dia menilai Indonesia justru bisa terseret pada krisis sosial domestik, terutama jika terjadi tekanan fasilitas, konflik budaya, atau kebocoran pengawasan.

"Kebijakan luar negeri Indonesia harus tetap independen, bebas aktif, dan berorientasi pada kemanusiaan," kata dia.