Kekuatan Pesawat Nirawak Indonesia: Kesiapan Prajurit di Balik Keterbatasan Teknologi

Indonesia, dengan wilayah maritim yang luas dan tantangan geografis yang unik juga kompleks, menyadari betul pentingnya kekuatan kendaraan udara nirawak, atau UAV (Unmanned Aerial Vehicle).
Seberapa kuatkah kekuatan UAV kita saat ini? Jika kita melihat dari segi teknologi, memang ada beberapa tantangan. Namun, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah aset terbesar kita: sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan siap tempur.
Inovasi Lokal dan Kesiapan Tempur
Sebagai contoh, kita bisa menilik kekuatan yang dimiliki oleh Skuadron Udara 700 di Bawah TNI AL. Skuadron ini mengoperasikan berbagai jenis pesawat nirawak untuk misi pengintaian dan patroli maritim.
Selain ScanEagle yang sudah dikenal luas karena daya tahan terbangnya yang bisa mencapai 20 jam dan sensor canggihnya, kita juga memiliki inovasi lokal yang patut dibanggakan.
Salah satu yang menarik adalah pengembangan multicopter buatan dalam negeri. Multicopter ini memiliki keunggulan tersendiri yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia:
- Kemampuan Terbang Vertikal (VTOL): Multicopter tidak memerlukan landasan pacu, sehingga bisa lepas landas dan mendarat dari platform terbatas seperti geladak kapal perang atau area kecil di darat. Ini sangat ideal untuk patroli di wilayah kepulauan yang luas.
- Fleksibilitas Misi: Multicopter dapat dimanfaatkan untuk berbagai tugas, mulai dari pengawasan, pemetaan, hingga pengiriman logistik ringan ke wilayah terpencil. Kemampuannya yang stabil di udara juga menjadikannya platform ideal untuk sensor presisi tinggi.
Namun, memang perlu diakui bahwa dari segi persenjataan, UAV kita belum sepenuhnya ideal jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Pesawat-pesawat tanpa awak yang dimiliki Indonesia saat ini sebagian besar memang lebih difokuskan pada misi pengawasan, bukan penyerangan.
Menilik Konsep "Drone Swarm" Ukraina dan Kesiapan Prajurit Kita
Perang modern, seperti yang terjadi antara Ukraina dan Rusia, membuktikan bahwa UAV bukan sekadar teknologi canggih, melainkan juga sangat bergantung pada "man behind the gun." Salah satu taktik yang paling mencolok dari perang ini adalah penggunaan drone swarm atau serangan kelompok drone.
Ukraina, dengan sumber daya yang lebih terbatas, mampu memberikan perlawanan sengit kepada Rusia dengan menyebarkan puluhan, bahkan ratusan drone kecil secara bersamaan. Taktik ini memiliki beberapa keunggulan:
- Mengatasi Pertahanan Lawan: Serangan masif drone membuat sistem pertahanan udara lawan kewalahan. Sulit untuk menembak jatuh puluhan target kecil sekaligus.
- Efektivitas Biaya: Drone-drone ini relatif murah, sehingga kerugian akibat ditembak jatuh tidak sebanding dengan kerusakan yang mereka timbulkan.
- Mengumpulkan Data Intelijen: Sebelum atau selama serangan, drone ini bisa mengumpulkan data tentang posisi dan kekuatan lawan.
Kesiapan ini lahir dari dua faktor utama yang juga dimiliki oleh prajurit kita: profesionalitas dan adaptasi. Prajurit kita sangat terlatih dalam mengoperasikan UAV dan mengolah data intelijen yang didapat. Mereka adalah aset tak ternilai yang menjadikan setiap teknologi yang ada menjadi alat yang mematikan dan efektif. Dengan pengetahuan medan yang mendalam, mereka bisa mengubah drone sederhana menjadi ancaman yang signifikan.
Langkah Masa Depan untuk Modernisasi Pertahanan
Paparan di atas kita melihat ada urgensi di mana membutuhkan sebuah political will yang kuat untuk memastikan Indonesia tidak tertinggal dalam arena peperangan modern, ada dua hal krusial yang harus terus didukung:
- Pendanaan dan Akuisisi Alutsista: Pemerintah harus terus mendukung pendanaan yang memadai untuk membeli alutsista dengan teknologi terbaru, termasuk UAV tempur, sensor canggih, dan sistem anti-drone. Modernisasi ini bukan sekadar mengikuti tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjaga kedaulatan.
- Pembaruan Wawasan Militer: Para prajurit dan pemangku kebijakan harus terus memperbarui wawasan mereka tentang taktik dan strategi peperangan yang berkembang pesat. Adaptasi dengan teknologi UAV, konsep drone swarm, dan perang siber menjadi keharusan.

"Seorang prajurit yang adaptif jauh lebih berharga daripada teknologi paling canggih." Kalimat ini menjadi benang merah dari diskusi dalam kelas Peperangan Asimetris di Universitas Pertahanan, yang melibatkan para mahasiswa, Wakil Komandan Skuadron 700 Mayor Laut Dhaesa Pramana dan Kepala Program Studi Peperangan Asimetris, Kolonel Laut (KH) Martinus DAW pada Kamis, (14/8/2025).
Para mahasiswa juga tidak tinggal diam. Mereka akan membekali diri dengan wawasan mendalam, salah satunya melalui Pusat Studi Strategi Peperangan Pesawat Nirawak, sebagai langkah konkret untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan.
Dialektika yang terjadi dalam diskusi menjadi upaya memetakan tantangan dan peluang. Dari sana, kita menyadari bahwa kekuatan sejati suatu bangsa tidak hanya terletak pada persenjataan, tetapi juga pada orang-orang yang mengoperasikannya. Prajurit kita adalah fondasi yang kuat, dan dengan dukungan politik yang tepat, kita bisa melangkah lebih jauh.
Sudah saatnya kita memastikan bahwa keberanian dan profesionalisme prajurit diimbangi dengan teknologi yang sepadan. Ini adalah tantangan dan motivasi. Kita memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk menjadi kekuatan pertahanan yang disegani.(*)