Kejagung Didukung Kejar Harta Koruptor untuk Dikembalikan ke Negara

Kejagung Sita Rp11,8 T dari Wilmar Group di Kasus CPO, ini Penampakan Uangnya
Kejagung Sita Rp11,8 T dari Wilmar Group di Kasus CPO, ini Penampakan Uangnya

Pakar hukum pidana, Hibnu Nugroho menanggapi hasil survei nasional Polling Institute, yang menempatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai lembaga hukum paling dipercaya publik. 

Sebanyak 70 persen responden menyatakan percaya kepada Kejaksaan Agung, Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 68 persen, pengadilan sebesar 66 persen, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 64 persen, dan kepolisian (Polri) hanya 61 persen.

Menurut dia, hal itu tak terlepas dari paradigma baru Kejaksaan Agung yang fokus pada pengembalian kerugian negara dalam menangani perkara korupsi.

Karena itu, Kejaksaan bisa memilah dan memilih tindak pidana yang benar-benar bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dalam konteks ini, perkara yang memiliki kerugian negara besar seperti kasus tambang dan kejahatan korporasi.

“Seperti kejahatan korporasi yang sampai dibuat panggung duit. Kejagung menunjukkan ke masyarakat, ini lho uang yang hilang bisa dikembalikan,” kata Hibnu dikutip pada Rabu, 27 Agustus 2025.

Hibnu menilai masyarakat menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang dipercaya publik karena salah satunya berani memproses hukum tokoh-tokoh dan elit tertentu yang melakukan tindak pidana korupsi.

Misalnya, kasus minyak goreng dan Sritex. Dalam kasus Sritex yang disebut pailit, kata Hibnu, ternyata diduga ada sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sehingga, Kejaksaan Agung mengusut kasus Sritex saat ini.

“Bahkan, direkturnya kemarin bergandengan dengan Wamen Kemenaker (Immanuel Ebenezer) sekarang juga bermasalah,” ujarnya.

Dalam konteks regulasi, Hibnu beranggapan Kejaksaan Agung sebagai lembaga negara mampu membuat badan yang bisa mengelola aset. “Jika dulu saat dikelola Bapas (sebelum dikelola Kejagung) aset yang disita, misalnya nilainya sepuluh tinggal lima saat putusan kasus,” jelas Hibnu.

Sementara itu, Hibnu mengatakan walaupun UU Perampasan Aset belum juga disetujui pemerintah dan DPR, namun paradigma baru penegakan hukum dalam kasus korupsi sudah mengarah kepada pengembalian kerugian negara. 

“Karena UU Perampasan Aset belum juga disetujui, maka langkah optimalisasi yang bisa dilakukan adalah bagaimana aset terkait korupsi bisa cepat diambil dan disita untuk dikembalikan pada negara,” pungkasnya.