Penjualan Mobil di Indonesia Disebut lagi Resesi! Pajaknya Kebanyakan dan Perlu Insentif
JAKARTA – LPEM FEB UI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia) menyebut pasar mobil di Indonesia sedang mengalami resesi. Solusinya adalah pengurangan pajak secara permanen atau pun temporer melalui insentif.
Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menerangkan penjualan mobil di Indonesia sudah lama sekali tidak bisa bertumbuh melebihi 1 juta unit. Sejak mencapai puncaknya pada 2013, pasar mobil anjlok saat pandemi pada 2020, kembali menjadi 1 juta unit pada 2022 dan turun terus sampai sekarang.
Penjualan mobil pada 2025 pun berisiko turun. Jika tak ada perubahan, transaksi jual-beli mobil akhir tahun nanti ia prediksi bisa drop dari 865.723 unit pada 2024 menjadi 769.104 unit.
“Resesi ekonomi itu bisa disebut terjadi kalau dua triwulan berturut-turut kondisi ekonomi turun. Industri otomotif sudah dua tahun (2023 dan 2024) malah turun. Industri otomotif sebenarnya mengalami resesi kalau menggunakan definisi itu,” kata dia dalam Diskusi Forum Wartawan Industri Otomotif Indonesia (Forwin) bertema ‘Menakar Efektivitas Insentif Otomotif’, Senin (19/5/2025) di Gedung Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta.
Riyanto menyorot beberapa hal yang turut menjadi faktor resesi penjualan mobil di Indonesia. Pertama, nilainya, adalah struktur pajak untuk kendaraan bermotor yang terlalu banyak di negeri ini sehingga mempengaruhi harga jualnya.
“Kita mungkin perlu melihat lagi struktur pajak. Mungkin struktur pajak mobil itu ada PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah), BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor), PKB (Pajak Kendaraan Bermotor), PPN (Pajak Pertambahan Nilai),” ucapnya.
Menurut dia, perlu dipikirkan mengenai pengurangan struktur pajak mobil baru secara permanen. Jika tidak, perlu ada insentif pajak untuk mengurangi harga jualnya.
Misalnya saja insentif PPnBM DTP seperti pada masa pandemi Covid-19.
“Posisi (pasar mobil) kita sekarang, boleh jadi perlu kebijakan seperti saat pandemi, entah PPN atau PPnBM sehingga harga kendaraan bisa dapat diskon. Itu yang terpenting,” tukas Riyanto.
Dalam jangka panjang, tandas Riyanto, pemerintah dan industri otomotif perlu bersama-sama menggelar kajian untuk mencari struktur pajak optimal dari sisi regulator maupun pasar. Dengan demikian, konsumen tidak terbebani oleh tarif perpajakan yang tinggi.
“Hitungan saya, total tarif pajak kendaraan itu 42 persen dari harga mobil. Jadi, kalau harga mobil Rp300 juta, 42 persennya itu pajak. Itu yang harus dikurangi dalam jangka panjang. Kalau tidak, saat insentif dicabut, pasar akan kembali lagi,” pungkasnya.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara membandingkan struktur pajak mobil di negera ini dengan di Malaysia. Malaysia, dengan tingkat pendapatan masyarakat yang jauh lebih tinggi, diberikan struktur pajak lebih simpel dan murah.
Alhasil, sebut Kukuh, pajak mobil Toyota Avanza di Malaysia hanya ratusan ribu rupiah. Sementara, di Indonesia pajaknya mencapai jutaan rupiah.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono menerangkan struktur pajak kendaraan maupun insentif untuk pasar mobil di Indonesia harus dibicarakan dengan Kementerian Keuangan maupun Kementerian Koordinator Perekonomian.
Ia berjanji akan mempertimbangkan adanya insentif di tengah penurunan pasar mobil pada 2025.
“Kami akan mempertimbangkannya, dengan situasi keuangan negara. Kalau insentif fiskal tidak bisa, akan non-fiskal,” tutup Tunggul. [Xan]