KMP Tunu Pratama Jaya Tenggelam di Selat Bali, Verifikasi KTP Penumpang Diabaikan?

— Tragedi tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Rabu (3/7/2025) malam masih menyisakan tanda tanya besar terkait jumlah penumpang yang sebenarnya berada di atas kapal.
Dari total 65 orang yang disebut berada di kapal yang terdiri dari 53 penumpang dan 12 kru, ditemukan fakta bahwa sebagian penumpang tidak tercatat dalam manifest resmi, sehingga menyulitkan proses evakuasi dan identifikasi korban.
Kondisi ini mengundang perhatian sejumlah pihak, termasuk mantan penjaga loket di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Febri (25), yang mengungkap persoalan sistemik dalam pendataan penumpang selama proses naik kapal.
"Aku pernah kerja di Pelabuhan Ketapang kurang lebih tiga tahun, dari 2020 sampai 2023 sebagai penjaga loket. Jadi sangat familiar dengan apa yang terjadi di sana," ujar Febri saat ditemui, Sabtu (5/7/2025).
Peran Calo dan Data Penumpang Tak Lengkap
Menurut Febri, sistem pemesanan tiket resmi sebenarnya sudah memadai jika dilakukan melalui aplikasi Ferizy, yang dikelola PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Namun, dalam praktik di lapangan, banyak penumpang justru lebih memilih menggunakan jasa calo daripada memesan sendiri secara daring.
“Sebagian besar orang tidak mau memesan sendiri. Mereka lebih suka beli tiket dari calo atau di pinggir jalan karena merasa lebih cepat,” kata Febri.
Masalah timbul karena calo seringkali hanya mencatat nama singkat, tanpa menyertakan data penting seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau alamat lengkap. Padahal, data tersebut sangat krusial untuk keperluan klaim asuransi maupun pencatatan dalam manifest penumpang.
Lemahnya Verifikasi di Pelabuhan
Febri juga mengungkap kelemahan dalam proses verifikasi di jalur masuk Pelabuhan Ketapang. Secara prosedur, petugas loket semestinya memeriksa kesesuaian tiket dan KTP seluruh penumpang di setiap kendaraan. Namun hal ini kerap tidak dilakukan menyeluruh.
“Misalnya mobil isinya enam orang, tapi dibilang cuma tiga. Jadi cuma tiga yang disuruh tunjukkan KTP,” jelas Febri.
Kondisi ini memperbesar kemungkinan adanya penumpang gelap atau penumpang yang tidak tercatat, sehingga saat insiden seperti tenggelamnya kapal terjadi, jumlah korban yang sebenarnya tidak dapat dipastikan secara akurat.
Lebih lanjut, Febri juga menyoroti kondisi kapal yang melayani rute Ketapang–Gilimanuk. Menurut dia, tidak semua kapal memenuhi standar keselamatan yang semestinya.
Ia menyebutkan ada kapal yang minim pelampung, bermesin tua, dan bahkan terlihat sangat usang.
“Mungkin karena tidak semua kapal milik BUMN. Ada juga yang milik swasta atau perorangan,” ujarnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan praktik kelebihan muatan yang kerap terjadi. Febri menduga hal ini dilakukan operator kapal demi mengejar pendapatan lebih besar.
Febri menambahkan bahwa pengawasan dari pihak ASDP maupun Syahbandar terhadap kelaikan kapal dan pengawasan keberangkatan masih sangat minim.
Ia menilai, ketidaktegasan dalam pengawasan tersebut turut memperparah potensi terjadinya kecelakaan laut.
Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak, baik operator kapal, otoritas pelabuhan, maupun penumpang.
Pendataan penumpang harus dilakukan secara disiplin dan transparan, dan pengawasan kapal perlu diperketat demi menjamin keselamatan pelayaran di lintasan Selat Bali.
“Kalau semua pihak tidak disiplin, kejadian kayak gini bakal terus terulang. Siapa yang bisa bertanggung jawab kalau korban tidak terdata?” ujar Febri.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul