Satu Meja dengan CEO Cisco Chuck Robbins: Baru Pertama Kali ke Indonesia

“Dingin sekali di sini, seperti ruang penyimpanan daging di Amerika Serikat,” ujar Chair & CEO Cisco, Chuck Robbins sambil tertawa ketika memasuki sebuah ruangan rapat di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).
Ini adalah kalimat yang saya, jurnalis KompasTekno, Bill Clinten, dengar ketika Chuck masuk ke dalam ruangan wawancara eksklusif. Memang suhu ruangan saat itu cukup dingin, jauh berbeda dengan cuaca dan suhu di luar hotel yang terasa panas siang itu.
Awalnya, saya sempat gelisah dan sedikit panik karena hendak menemui sosok nomor satu di perusahaan jaringan dan keamanan siber sekelas Cisco.
Namun, kalimat pembuka dari Robbins tadi langsung membuat saya tenang, dan suasana menjadi cair. Sebab dari sini, saya melihat Chuck sebagai pria paruh baya yang ramah dan humoris.
Sebagai seorang CEO, Chuck, yang bisa juga dipanggil Robbins, tentunya merupakan pebisnis yang cukup sibuk. Ia baru sampai di Jakarta pada Kamis (10/7/2025) pagi usai perjalanan bisnisnya dari India.

Pada Jumat (11/7/2025) pagi, Chuck langsung didapuk menjadi salah satu pembicara di suatu acara yang digelar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan operator seluler Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) di hotel yang sama.
Barulah pada siangnya, KompasTekno dijadwalkan bertemu dengan Chuck untuk menjalankan sesi wawancara eksklusif.
Mengomentari soal cuaca, lulusan University of North Carolina ini mengatakan ia sebenarnya tak suka dengan udara di Jakarta yang cukup panas dan lembab. Namun, dia mengaku sudah terbiasa dengan cuaca dan suhu seperti ini.
"Karena ketika kecil, saya juga tumbuh di tempat yang panas dan lembab. Tapi jujur, saya jarang keluar, dan sebagian besar waktu saya di Jakarta saya habiskan di kamar hotel," jelas Robbins sambil berkelakar.
Pertama kali ke Indonesia
Momen wawancara eksklusif ini juga menandakan pertama kalinya Chuck Robbins melakukan kunjungan bisnis ke Indonesia. Di Cisco, ia sudah mengabdi selama 25 tahun lebih, dan ia sudah menjabat sebagai CEO Cisco sejak 2015 lalu atau sekitar 10 tahun lalu.
Mantan mahasiswa jurusan Matematika ini memutuskan hadir di Indonesia sekarang karena saat ini, ia melihat negara ini memiliki visi besar yang sejalan dengan misi Cisco, yaitu untuk mewujudkan masa depan inklusif bagi semua orang.
“Negara ini punya strategi yang cukup terkoordinasi, terutama dalam hal keamanan siber dan kecerdasan buatan (AI). Nah, kami melihat peluang besar di sini dan kami bisa memegang peranan penting di sektor ini,” ujar Chuck.
Untuk mendukung perkembangan Indonesia dalam industri keamanan siber dan AI, Cisco juga memiliki program Networking Academy (NetAcad) yang sudah berjalan di Indonesia sejak sekitar tahun 2000.
Rencananya mulai tahun ini hingga 2030 mendatang, Cisco menargetkan program yang fokus di bidang edukasi ini, akan bisa menghasilkan 500.000 talenta digital di Indonesia.
Lewat program tersebut, Cisco tak hanya menyediakan pelatihan di bidang jaringan, keamanan, dan AI, tetapi juga membuka akses ke peluang kerja melalui portal pekerjaan yang terintegrasi.
“Kami percaya teknologi dan program ini bisa membuka kesempatan sekaligus meningkatkan kemampuan banyak orang, bukan hanya segelintir orang yang punya akses terhadap teknologi saja,” tegas alumni Rocky Mount High School, North Carolina tersebut.
AI dan pengambilan keputusan
Chair & CEO Cisco, Chuck Robbins (kiri) dan jurnalis KompasTekno, Bill Clinten (kanan) dalam wawancara eksklusif bersama CEO Cisco di Hotel St. Regis, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
Chuck mengatakan pengembangan AI menjadi fokus dan strategi Cisco saat ini. Ia pun cukup optimis akan teknologi ini dan percaya AI akan membantu manusia dalam menyelesaikan banyak pekerjaan.
Namun, ia tetap khawatir dan berpendapat bahwa akan banyak pekerjaan di masa depan yang akan tergantikan dengan AI.
"Contohnya seperti pekerjaan customer service, call center, hingga tugas untuk membuat kode pemrograman dasar, semua ini sekarang bisa dilakukan dengan AI," kata Chuck.
Kekhawatirannya tetap diiringi dengan rasa yakin. Ia yakin AI juga akan lebih memberikan manfaat kepada orang-orang yang mengandalkan teknologi tersebut, terutama di pekerjaan sehari-hari mereka.
“AI mungkn bisa menulis 40–50 persen kode pemrograman dalam waktu singkat. Namun, ini bukan berarti mereka bisa menulis kode sepenuhnya, melainkan masih membutuhkan tenaga kerja. Di sinilah mereka para pekerja akan menjadi dua kali lebih produktif," imbuh Chuck.
Saat ditanya tentang cara membuat keputusan sebagai CEO, Robbins mengaku sebagian besar keputusan yang sampai ke meja kerjanya adalah keputusan sulit. Keputusan ini tidak bisa diambil berdasarkan data atau mengandalkan AI, melainkan juga menggunakan insting.
“Biasanya saat keputusan sampai ke saya, itu artinya tim saya yang sangat pintar terbelah pendapat. Saat itulah intuisi dan pengalaman saya menjadi pemimpin menjadi penentu,” kata Robbins.
“Kalau menunggu data 100 persen, saya bisa terlambat mengambil keputusan untuk perusahaan," tambah pria berumur sekitar 59 tahun ini.
Hambatan dan harapan
Sebagai pemimpin di perusahaan teknologi, Chuck mengaku kemajuan teknologi yang cukup pesat tak menjadi hambatan dan tidak membuatnya menjadi kewalahan.
“Yang paling bikin saya pusing itu justru masalah geopolitik dunia, bukan teknologi. Kenapa? Karena teknologi menurut saya merupakan sebuah kesempatan, dan kesempatan tidak perlu diambil pusing,” kata dia sambil tertawa lepas.
Ilustrasi logo Cisco.
Adapun satu hambatan yang ia akui sangat mengganggu saat ini adalah banyaknya ancaman yang sudah sangat maju karena sudah menggunakan AI. Ia pun berharap hambatan tersebut bisa dihapus dari dunia, meski hal ini sangat mustahil.
"Jika ada satu hal yang bisa diubah di industri teknologi saat ini jawabannya sederhana, yaitu menghapus semua bahaya dan risiko yang ditimbulkan AI. Sayangnya, itu tidak mungkin. Tapi kalau bisa, kami bisa langsung dengan mudah bergerak maju untuk kebaikan," jelas Chuck.
Masih soal angan-angan, Chuck berharap Cisco bisa lebih dikenal orang banyak, termasuk orang awam. Sebab, teknologi yang disediakan dan diterapkan selama ini sebenarnya sudah ada di kehidupan sehari-hari pengguna di dunia, namun mereka tak menyadarinya.
“Tak ada perusahaan teknologi di dunia ini yang bisa menjalankan apa pun tanpa infrastruktur yang kami bangun,” kata Chuck dengan percaya diri.
Harapan Chuck tak hanya sekadar di bidang AI dan bisnis atau nama perusahaannya saja, namun juga potensi kunjungannya ke Indonesia di masa depan.
Chuck mengaku sangat suka dengan Indonesia dan ingin tinggal lebih lama, namun ia harus kembali ke negara asalnya, AS beberapa jam setelah wawancara eksklusif ini pada Jumat kemarin.
Ia pun berharap bisa kembali ke Tanah Air di suatu kesempatan di masa depan untuk menjalankan apa yang belum dilakukan, dan mungkin pelesiran bersama keluarganya.
"Saya belum sempat makan masakan Indonesia. Saya tentunya akan kembali ke sini dan saya pastikan ini bukan kunjungan terakhir saya," jelas ayah yang memiliki empat anak ini.
"Saya dengar Bali juga tempat bagus untuk liburan, dan istri saya ingin sekali pergi ke sana. Mungkin saya bisa sekalian berlibur," pungkas Chuck Robbins dengan antusias.