Dulu Naik Kapal, Kini Akan Diulang? Sejarah Perjalanan Haji Lewat Laut dari Indonesia

— Pemerintah Indonesia tengah mengkaji kemungkinan dibukanya kembali jalur laut sebagai alternatif perjalanan ibadah umrah dan haji.
Wacana ini menjadi sorotan karena dinilai dapat menghadirkan opsi transportasi yang lebih terjangkau bagi masyarakat serta menghidupkan kembali sejarah panjang perjalanan ibadah haji dari Indonesia.
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyebut, pembahasan terkait jalur laut untuk haji dan umrah kini sedang dijajaki bersama otoritas Arab Saudi. Ia menilai opsi ini sangat prospektif untuk masa depan penyelenggaraan ibadah ke Tanah Suci.
“Digagas ke depan, kami kira sangat prospektif memperkenalkan umrah dan haji melalui kapal laut. Kami juga kemarin berbicara dengan sejumlah pejabat di Saudi Arabia,” ujar Nasaruddin dalam pernyataan di Jakarta, Selasa (8/7/2025), dikutip dari Antara.
Menurut Nasaruddin, jika infrastruktur pelabuhan dan transportasi laut pendukung sudah siap, maka jalur laut ibadah haji ini bisa diwujudkan dan memberi manfaat besar bagi jemaah dari berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

“Bukan hanya negara-negara kawasan yang dekat seperti Mesir, bahkan dari Indonesia dan Asia lainnya bisa mengakses,” imbuhnya.
Kilas Balik: Perjalanan Panjang Ibadah Haji Lewat Laut
Gagasan penggunaan kapal laut untuk ibadah haji sesungguhnya bukan hal baru.
Dikutip dari, sebelum era penerbangan dimulai pada 1952, seluruh calon jemaah haji dari Nusantara harus menempuh perjalanan panjang melalui jalur laut.
Perjalanan ini tidak hanya memakan waktu berminggu-minggu, tetapi juga sarat risiko dan keterbatasan fasilitas.
Dalam buku Naik Haji di Masa Silam Tahun 1482–1890 karya Henri Chambert-Loir disebutkan bahwa pemerintah kolonial Belanda sejak abad ke-18 telah mengatur ketat keberangkatan haji.
Gubernur Jenderal Daendels mewajibkan jemaah untuk membawa dokumen perjalanan resmi. Pada tahun 1825, paspor harus dibeli seharga 110 gulden, nominal yang sangat mahal kala itu.
Bupati bahkan diperintahkan untuk memperlambat arus keberangkatan haji.
Regulasi makin diperketat pada 1859, di mana jemaah harus menunjukkan bukti keuangan untuk menafkahi keluarga yang ditinggal.
Setelah pulang dari Mekkah, mereka wajib menghadap bupati dan menunjukkan bukti fisik sebagai tanda sah telah berhaji. Jika tidak, mereka bisa dikenakan denda hingga 100 gulden dan dilarang menggunakan gelar "haji".
Jalur Laut yang Penuh Perjuangan
Para jemaah calon haji dipindahkan dari KM Ambulombo ke kapal tongkang untuk didaratkan. Perjalanan haji via laut berakhir pada 1979. Setelah itu, seluruh perjalanan haji hanya melalui jalur udara.
Dari laman Kemenag.go.id, dijelaskan transportasi haji dengan kapal laut menyimpan banyak kisah getir.Dalam satu kapal, jemaah kerap ditempatkan di ruang palka sempit sekitar 1 hingga 1,5 meter persegi per orang. Fasilitas makan dan sanitasi sangat terbatas.
Bahkan, kasus kelaparan terjadi karena jatah makanan dicuri oleh tukang masak.
Tragedi besar pernah terjadi pada 1893 saat kapal Samoa milik firma Herklots yang mengangkut 3.600 jemaah dihantam badai dan tenggelam, menewaskan 100 orang.
Setibanya di Tanah Suci, jemaah masih dihadapkan pada risiko lain seperti kolera.
Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit, pada 1903 dibentuk karantina internasional yang dikelola tim dari Turki, Inggris, Prancis, dan Belanda melalui organisasi Internationale Gezondheidsraad di Iskandariah, Mesir.
Di Indonesia, sistem ini baru diterapkan secara menyeluruh pada 1970-an.
Sejarah Panjang Haji di Nusantara
Menurut situs resmi Kementerian Agama, sejarah perjalanan haji dari Indonesia telah berlangsung berabad-abad.
Terusan Suez yang dibuka pada 1869 mempercepat dan mempermudah pelayaran ke Jeddah. Sebelum kapal uap diperkenalkan, perjalanan dilakukan dengan kapal layar.
Prof. Dr. Deliar Noer dalam buku Administrasi Islam di Indonesia menyebut, Indonesia merupakan salah satu negara pengirim jemaah haji terbanyak di luar dunia Arab.
Tahun puncaknya terjadi pada 1926/1927 saat 52.000 jemaah diberangkatkan. Gelar "haji" saat itu menjadi simbol kehormatan di masyarakat.
Muhammadiyah adalah organisasi pertama yang menggagas perbaikan sistem haji. Pada 1921, K.H. Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh K.H.M. Sudja’.
Kongres Muhammadiyah ke-17 tahun 1930 di Bukittinggi merekomendasikan pelayaran haji sendiri.
Pada masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, perjalanan haji dihentikan karena kondisi keamanan dan minimnya transportasi. Hadratussyaikh K.H. Hasjim Asy’ari bahkan mengeluarkan fatwa bahwa ibadah haji tidak wajib dilakukan kala itu.
Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengirim dua misi haji pada 1948 dan 1949 yang disambut hangat Kerajaan Arab Saudi. Misi ini juga membawa misi diplomatik memperjuangkan kedaulatan RI.
Kapal Haji dan PT. Arafat
Suasana salat berjamaah calon jemaah haji di geladak Kapal Ambulombo.
Pada 1950, pemerintah RI kembali memberangkatkan jemaah menggunakan kapal laut. Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim melepas jemaah dari Pelabuhan Tanjung Priok dan berpesan kepada kapten kapal:“Saya percayakan keselamatan jemaah haji ini kepada Tuan. Saya harap mereka mendapat pelayanan yang sesuai dengan kehormatannya.”
cita memiliki kapal haji nasional akhirnya terwujud pada 1 Desember 1964 lewat pendirian PT. Pelayaran Arafat.
Perusahaan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional seperti Letjen H.M. Muljadi Djojomartono, Jenderal A.H. Nasution, Ali Sadikin, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kapal pertama yang dioperasikan diberi nama Nyut Nya’ Dhien Srikandi Muslimah oleh Presiden Soekarno.
Sayangnya, karena salah kelola dan beban keuangan, PT. Arafat dinyatakan pailit pada 1976. Sejak 1979, pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dihentikan sepenuhnya dan digantikan oleh pesawat udara.
Era Modern: Reformasi dan Undang-Undang Haji
Transportasi haji udara dimulai pada 1953, namun baru dominan setelah 1979. Dalam perjalanannya, sejumlah regulasi penting terus diperbarui:
- Tahun 1999, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji diterbitkan.
- Tahun 2008, diterbitkan UU No. 13 Tahun 2008 yang menyempurnakan sistem pendaftaran melalui SISKOHAT.
- Tahun 2014, UU No. 34 Tahun 2014 membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
- Tahun 2015, e-Hajj diterapkan dan daftar tunggu diatur agar calon haji yang belum berhaji diprioritaskan.
Kini, dengan teknologi transportasi laut yang jauh lebih modern dan aman, rencana membuka kembali jalur laut ibadah haji dinilai bisa menjadi solusi terjangkau serta membuka akses lebih luas, terutama bagi jemaah lansia dan masyarakat dengan keterbatasan ekonomi.
Sejarah panjang perjalanan haji Indonesia, mulai dari kapal layar, kapal uap, hingga pesawat udara, bisa memasuki babak baru—kapal modern dengan pelayanan yang manusiawi dan terjangkau.
“Kami masih menjajaki. Tapi jika semua infrastruktur pelabuhan siap dan ada kesepahaman dengan Saudi, maka jalur laut untuk haji dan umrah bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi solusi masa depan,” tutup Menag Nasaruddin.