Garuda Indonesia Borong 50 Pesawat Boeing yang Dianggap Punya Reputasi Buruk, Ekonom: Apakah ini Tanda Menuju Krisis?

Maskapai Garuda Indonesia kembali mencuri perhatian publik dengan rencana pembelian 50 unit pesawat Boeing dari Amerika Serikat.
Ekonom Achmad Nur Hidayat menilai, di tengah stagnasi industri aviasi nasional dan kondisi keuangan maskapai yang belum pulih sepenuhnya, keputusan ini menimbulkan satu pertanyaan besar.
“Apakah ini langkah kebangkitan atau justru tiket menuju krisis berikutnya?” kata Achmad kepada wartawan di Jakarta, Minggu (20/7).
Achmad mencontohkan, menilik harga rata-rata Boeing 737 MAX dan 787 Dreamliner di pasar global yang berkisar antara USD 120 - 150 juta per unit tergantung tipe dan konfigurasi, maka pembelian 50 unit akan membutuhkan komitmen belanja sekitar USD 6 - 7,5 miliar atau setara Rp 96 - 120 triliun (kurs Rp 16.000).
“Angka ini setara dengan tiga kali lipat belanja modal Kementerian Perhubungan 2025 dan nyaris 20 persen APBN sektor infrastruktur transportasi nasional,” ungkap Achmad.
Perbandingan ini penting, karena pada akhirnya, jika BUMN strategis seperti Garuda kembali jatuh, talangan keuangan negara atau uang rakyat akan kembali menjadi solusi terakhir.
“Saat ini kondisi keuangan Garuda Indonesia masih rapuh meskipun sudah melalui restrukturisasi PKPU,” tutur Achmad.
Dia juga mencontohkan kondisi Boeing sendiri sedang menghadapi krisis reputasi dan kualitas produksi.
Boeing 737 MAX di-grounded pada 2019–2020 setelah dua kecelakaan fatal di Lion Air dan Ethiopian Airlines menewaskan 346 orang akibat cacat desain MCAS.
Insiden panel terlepas pada Boeing 737 MAX 9 Alaska Airlines awal 2024 memicu investigasi ulang FAA dan meningkatkan pengawasan sertifikasi.
Laporan whistleblower terkait cacat produksi pada jalur perakitan 737 dan 787 menambah daftar panjang masalah kualitas Boeing.
“Jika Garuda membeli 50 unit Boeing dengan dominasi 737 MAX, risiko teknis, operasional, dan reputasi akan membayangi siklus hidup pesawat tersebut,” tutur Achmad.
Kondisi Garuda saat ini seharusnya menuntut strategi kebangkitan yang lebih fundamental.
Mengoptimalkan utilisasi armada yang ada, memperbaiki governance, menata ulang rute-rute profit center, memperkuat aliansi codeshare dan route sharing, serta restrukturisasi model bisnis kargo dan LCC adalah langkah yang lebih realistis untuk membangun daya saing dan kepercayaan pasar.
“Membeli armada jumbo tanpa kesiapan finansial yang kokoh dan governance yang sehat justru dapat menimbulkan krisis baru di masa depan,” jelas Achmad. (Knu)