Jejak Panjang Kebaya di Indonesia, dari Abad ke-15 hingga Panggung Mode Modern

Dalam rangka memperingati Hari Kebaya Nasional, menarik untuk menengok kembali perjalanan panjang kebaya sebagai salah satu warisan budaya Indonesia.
Lebih dari sekadar pakaian tradisional, kebaya mencerminkan transformasi nilai sosial, budaya, hingga identitas perempuan Nusantara dari masa ke masa.
Secara historis, kebaya digunakan tidak hanya oleh perempuan Jawa sebagai pakaian sehari-hari tetapi juga oleh perempuan Belanda dan orang Belanda yang tinggal di Pulau Jawa.
Kebaya wanita asli tidak menggunakan renda atau warna selain putih, dan menggunakan kain batik dengan motif yang dipengaruhi oleh budaya Eropa.
Sebaliknya, kebaya wanita non-asli menggunakan warna putih dan berenda dengan kain batik yang disesuaikan dengan pakem tradisional. Kebaya, yang mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan ras melalui pakaian, digunakan oleh perempuan Belanda dan pribumi.
Asal Usul Kebaya, dari Istana ke Rakyat Jelata
Kebaya diyakini mulai muncul di Nusantara sekitar abad ke-15 hingga 16. Menurut Putri et al. (2021), masa ini menjadi tonggak awal berkembangnya kebaya di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa.
Busana ini awalnya dikenakan oleh kalangan bangsawan dan dirancang secara sederhana dari bahan ringan dengan sentuhan bordir halus. Kebaya kala itu menjadi simbol keanggunan dan status sosial perempuan.
Secara etimologis, kata “kebaya” berasal dari bahasa Arab, yakni habaya atau kaba, yang berarti pakaian berlengan panjang dengan belahan di bagian depan. Hal ini menunjukkan bahwa kebaya tidak lahir secara murni dari budaya lokal, melainkan hasil akulturasi lintas budaya yang terus berkembang.
Kebaya dan Stratifikasi Sosial
Sejarah mencatat bahwa kebaya bukan sekadar busana, tetapi juga penanda status sosial dan kelas. Menurut Taylor dalam Nordholt (2005), pada masa kolonial, kebaya digunakan oleh perempuan pribumi dan Belanda, dengan perbedaan yang mencolok pada bahan dan desainnya.
Perempuan Jawa dari kalangan priyayi mengenakan kebaya berbahan halus dan berkualitas tinggi, sementara rakyat biasa memakai kebaya dari kain yang lebih sederhana.
Kebaya perempuan pribumi cenderung polos tanpa renda, biasanya berwarna putih, dan dipadukan dengan batik bercorak Eropa.
Sebaliknya, perempuan Belanda memilih kebaya berhias renda dengan kain batik yang mengikuti pakem tradisional. Dari sini tampak bagaimana kebaya menjadi simbol yang secara tidak langsung mengotak-kotakkan masyarakat berdasarkan ras dan kelas.
Pengaruh Budaya Asing di Abad ke-18 dan ke-19
Memasuki abad ke-18, kebaya mengalami transformasi di bawah pengaruh budaya asing. Gaya, motif, hingga bahan kebaya pun mulai mengalami modifikasi.
Peneliti Nagata (2023) mencatat bahwa pada masa itu kebaya tidak hanya menjadi pakaian harian, tetapi juga terikat pada norma-norma sosial yang sakral, terutama dalam lingkungan keraton dan keluarga aristokrat.
Namun, seiring waktu, kebaya menjadi lebih inklusif dan digunakan oleh berbagai kalangan. Di masa kolonial, kebaya juga menjadi simbol resistensi budaya lokal terhadap dominasi Barat.
Transformasi kebaya semakin nyata di era modern. Kini, kebaya tidak lagi hanya digunakan pada acara adat atau upacara resmi, tetapi juga menjadi bagian dari industri mode nasional. Nagata (2023) menyebutkan bahwa kebaya kini menjadi sarana ekspresi identitas perempuan Indonesia yang dinamis dan multikultural.
Kebaya modern tampil lebih beragam, mulai dari model yang mengikuti tren busana global hingga kebaya muslim yang tertutup dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Perubahan ini turut mencerminkan pengaruh globalisasi dan kebangkitan kesadaran identitas kultural dalam berbusana.
Desain Kebaya Masa Kini, Inovasi dalam Tradisi
Desain kebaya kontemporer semakin berkembang. Fitria dan Wahyuningsih (2019) menjelaskan bahwa para perancang busana kini banyak melakukan inovasi, baik dari segi siluet, kerah, lengan, maupun bahan.
1. Modifikasi Kerah
Bentuk kerah kebaya modern sangat beragam, mulai dari kerah Shanghai, V, Sabrina, off-shoulder, hingga bentuk hati dan kotak. Evolusi bentuk ini tak lepas dari pengaruh perubahan struktur sosial. Jika dahulu variasi kerah menunjukkan kelas sosial, kini semua bentuk kerah bisa digunakan oleh siapa saja, tanpa memandang golongan.
2. Modifikasi Lengan
Model lengan kebaya juga mengalami banyak perubahan. Salah satu yang populer adalah lengan puff, yang menambah kesan dramatis dan feminin. Ada juga model lengan terompet yang memberikan efek visual elegan dan mengalir, serta lengan tiga perempat yang praktis dan modern, cocok untuk penggunaan sehari-hari maupun acara formal.
3. Variasi Bahan
Kebaya tradisional biasanya terbuat dari tenun, batik, atau songket yang sarat nilai budaya. Kini, kebaya modern menggunakan bahan seperti lace, tule, brokat, sutra, dan velvet, yang memberi kesan ringan, mewah, dan feminin. Bahan-bahan ini memungkinkan kebaya tampil lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pemakainya.
Kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Kebaya tidak hanya menjadi bagian dari sejarah busana, tetapi juga simbol identitas nasional. Upaya pelestarian kebaya sebagai warisan budaya tak benda Indonesia terus dilakukan oleh berbagai pihak. Bahkan, sejumlah negara ASEAN mendukung pengajuan kebaya ke UNESCO sebagai bagian dari warisan budaya dunia.
Di momen Hari Kebaya Nasional, kita diajak untuk tidak hanya mengenakan kebaya sebagai simbol estetika, tetapi juga menghayati sejarah, perjuangan, dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
“Kebaya bukan sekadar pakaian, tapi cermin peradaban perempuan Indonesia yang penuh warna, kuat, dan anggun,” demikian pernyataan yang sering digaungkan dalam gerakan pelestarian kebaya.