Fenomena Rojali dan Rohana: Dampak pada Pusat Perbelanjaan di Indonesia

Istilah "rojali" dan "rohana" belakangan ini menjadi topik hangat di media sosial dan kalangan bisnis.
Kedua istilah ini mengacu pada perilaku konsumen yang kerap terlihat di pusat perbelanjaan, di mana "rojali" merupakan singkatan dari "rombongan jarang beli" dan "rohana" berarti "rombongan hanya nanya".
Kedua fenomena ini menggambarkan pengunjung mal yang datang dalam kelompok besar, tetapi hanya melakukan pengamatan atau bertanya tanpa bertransaksi secara signifikan.
Meskipun bukan fenomena yang baru, kemunculan istilah rohana dan rojali kini menarik perhatian karena dianggap mencerminkan situasi daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Fenomena yang Tak Terasing
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menjelaskan bahwa rojali bukanlah tren yang tiba-tiba muncul, melainkan sudah ada sejak lama.
"Pengunjung datang ke pusat perbelanjaan namun hanya sedikit yang berbelanja. Ini bukan fenomena baru, namun saat ini intensitasnya meningkat akibat melemahnya daya beli, terutama dari kalangan menengah ke bawah," ungkapnya.
Dampak terhadap Pengelola Mal
Meskipun terlihat merugikan, Alphonzus menilai bahwa fenomena rojali belum mengganggu kinerja pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia.
Daya beli masyarakat di luar Pulau Jawa tetap terjaga.
"Dampaknya belum signifikan, tetapi jika daya beli tidak pulih, efeknya dapat meluas ke sektor ritel, manufaktur, jasa, hingga keuangan," jelasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, pengelola mal mulai mengadakan berbagai promosi, terutama menjelang periode belanja seperti Natal dan Tahun Baru.
Pandangan Menteri Perdagangan
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menegaskan bahwa fenomena rojali tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
"Masyarakat bebas memilih untuk berbelanja secara daring atau langsung," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa banyak konsumen yang datang ke mal untuk memastikan kualitas barang sebelum membeli secara online, agar tidak mendapatkan produk palsu.
Manfaat bagi Ritel Makanan dan Minuman
Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menyatakan bahwa fenomena rojali justru menguntungkan sektor ritel makanan dan minuman (F&B).
"Konsumen sering berkumpul di tempat-tempat seperti J.Co atau Starbucks, sehingga meskipun tidak semua membeli, omzet toko F&B meningkat antara 5 hingga 10 persen," katanya.
Penyebab Ekonomi
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa maraknya fenomena rojali disebabkan oleh penurunan pendapatan masyarakat, meskipun kebutuhan untuk hiburan tetap ada.
"Berkunjung ke mal tanpa berbelanja menjadi hiburan yang murah," jelasnya.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan banyak program diskon, hal ini belum cukup untuk meningkatkan daya beli secara signifikan.
Kehadiran Rohana
Di samping rojali, pengelola mal juga menghadapi fenomena rohana, yang menggambarkan pengunjung yang masuk hanya untuk bertanya-tanya tanpa melakukan transaksi.
Meskipun ini merupakan hal yang umum dalam dinamika pusat belanja modern, jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan omzet toko, terutama di sektor ritel non-makanan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "",