‘Trigger’ Dikhawatirkan Picu Kekerasan Senjata Api, Kim Nam-gil Tegaskan Serial ini Tentang Kemanusiaan

 ‘Trigger’ Dikhawatirkan Picu Kekerasan Senjata Api, Kim Nam-gil Tegaskan Serial ini Tentang Kemanusiaan

resmi merilis serial terbaru Trigger pada 25 Juli. Tanggal rilis serial ini secara acak berdekatan dengan tragedi penembakan nyata yang mengejutkan di Korea Selatan. Peristiwa kekerasan senjata api itu dilakukan seorang pria berusia 60-an yang menembak mati anaknya menggunakan senjata rakitan pada 20 Juli. Hal ini membuat Trigger terasa sangat tepat waktu dan sulit lagi disebut sebagai cerita fiksi yang tak mungkin terjadi.

Meski menimbulkan kekhawatirkan serial ini akan menginspirasi kejahatan serupa, bintang Trigger Kim Nam-gil menegaskan karya ini bukan tentang senjata, melainkan kisah tentang manusia.

“Senjata hanyalah alat yang merepresentasikan keinginan, kemarahan, dan berbagai isu sosial serta ideologi. Ini merupakan kisah tentang bagaimana seharusnya kita hidup, berapa banyak empati, pengertian, dan kompromi yang perlu kita miliki satu sama lain. Ini tentang neraka yang muncul jika kita meninggalkan prinsip-prinsip itu,” kata Nam-gil dalam wawancara dengan The Korea Times, Selasa (29/7).

Ia juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai penggunaan senjata sebagai bentuk balas dendam pribadi dalam drama ini. “Situasi dalam drama disusun sedemikian rupa sehingga penonton bisa bersimpati pada karakter yang menggunakan senjata, bukan? Senjata dikirimkan kepada mereka yang merasa dirinya lemah secara sosial, dan aku berharap ini tidak dipersepsikan secara umum sebagai ‘inilah yang terjadi jika orang-orang lemah punya senjata’. Hal yang ingin kusampaikan yakni sifat dasar manusia, terlepas dari lemah atau kuatnya seseorang,” imbuhnya.

gil, yang dikenal lewat peran-peran aksi dalam The Fiery Priest dan The Pirates, menekankan ia membangun adegan aksi dalam serial ini dengan pendekatan penuh kehati-hatian dan pengendalian. “Mengingat ini produksi Netflix, kami punya kebebasan untuk menampilkan adegan aksi yang intens dalam situasi bencana. Namun, dari sudut pandang antisenjata, aku berusaha menggambarkan aksi yang terkendali dan defensif. Aku mendekati peran ini dengan keyakinan bahwa penggunaan senjata di sini tidak boleh dilihat sebagai bentuk keadilan main hakim sendiri untuk membunuh penjahat,” jelasnya. Ketika ditanya apakah ia menganggap dirinya sebagai orang yang adil, aktor yang telah memimpin organisasi nirlaba seni budaya Gilstory selama lebih dari satu dekade ini menjawab bahwa keterlibatannya dalam organisasi itu membuatnya merenungkan makna hidup bersama secara baik. “Seiring waktu, pemikiran orang perlahan berubah. Hal-hal yang dulunya benar kini dianggap salah, dan sebaliknya. Meski kita harus mengikuti perkembangan zaman, aku sering berpikir bahwa esensi dasar kemanusiaan sebaiknya tetap tidak berubah,” pungkasnya.(dwi)