Kenaikan PBB hingga 250 Persen di Pati Picu Krisis Politik Besar-besaran, Pengamat Ingatkan Pejabat Kalau Bikin Kebijakan Harus Pakai 'Otak'

Kenaikan PBB hingga 250 Persen di Pati Picu Krisis Politik Besar-besaran, Pengamat Ingatkan Pejabat Kalau Bikin Kebijakan Harus Pakai 'Otak'

Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkotaan dan Perdesaan hingga 250% di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, telah memicu gejolak politik.

Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, menilai kebijakan Bupati Pati Sudewo ini sangat memberatkan warga karena tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.

Jerry menegaskan bahwa kenaikan pajak di atas 100% sudah melampaui batas yang diatur undang-undang, sehingga wajar jika masyarakat Pati bereaksi.

“Harusnya dipikir dulu sebelum mengeluarkan kebijakan. Dilihat dulu pendapatan masyarakat. Kenaikan di atas 100 persen sudah melewati batas yang diamanatkan undang-undang. Wajar masyarakat Pati bereaksi,” ujar Jerry di Jakarta, Jumat (15/8).

Menurutnya, setiap kebijakan kenaikan pajak seharusnya diawali dengan kajian mendalam, komunikasi dengan pemerintah pusat, dan mempertimbangkan klasifikasi ekonomi warga. Jerry menambahkan, kenaikan 10-20% masih bisa ditolerir, tetapi kenaikan di atas 200% menunjukkan adanya kekeliruan dalam pengambilan keputusan.

Ia mengingatkan agar kejadian serupa tidak terulang di daerah lain karena dapat menimbulkan ketidakstabilan dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

Jerry menekankan pentingnya kepala daerah untuk lebih rasional dalam membuat kebijakan, dengan memperhatikan pendapatan dan pekerjaan masyarakat.

‎”Jangan sampai kejadian di Pati kembali terjadi di daerah-daerah lain,” ungkap Jerry.

Sebelumnya, kenaikan PBB sebesar 250% ini telah memicu demonstrasi besar-besaran di awal masa jabatan Bupati Sudewo pada 13 Agustus 2025.

Kemarahan warga semakin memuncak ketika Sudewo merespons protes dengan sikap arogan, menyatakan bahwa aksi massa tidak akan mengubah kebijakan yang telah ditetapkan. Pernyataan ini dianggap meremehkan rakyat, yang kemudian mendorong puluhan ribu orang untuk berunjuk rasa di depan kantor bupati.