Protes Kenaikan PBB Cirebon hingga 1.000 Persen, Warga Desak Perda Dicabut

Gelombang protes terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon, Jawa Barat, terus menguat. Warga menilai kenaikan PBB yang mencapai hingga 1.000 persen terlalu memberatkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19.
Salah satu tokoh masyarakat Cirebon, Darma Suryapranata (83), mengaku terkejut ketika menerima tagihan PBB tahun 2024. Rumah Darma berada di Jalan Raya Siliwangi, dan ia merupakan bagian dari Paguyuban Pelangi Cirebon.
“Awalnya saya tidak tahu soal kenaikan ini. Saya diundang ke Balai Kota, lalu saya cari tahu berapa kenaikannya. Waktu lihat tagihannya, saya kaget, masa Rp 65 juta pada tahun 2024, padahal di tahun 2023 hanya Rp 6,3 juta. Kenaikannya itu kan 1.000 persen,” ujar Darma, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, kebijakan tersebut keluar pada waktu yang tidak tepat.
“Masalahnya, ekonomi kita sedang tidak bagus setelah pandemi Covid-19. Jadi ini jadi beban, tapi pemerintah mengeklaim ekonomi sudah tumbuh. Padahal nyatanya ekonomi kita lebih tidak bagus,” katanya.
Sebagai sesepuh di komunitas Tionghoa dan lintas agama di Cirebon, Darma sering menerima keluhan dari warga yang mengalami hal serupa.
“Kenaikan PBB ini enggak hanya memberatkan saya, rakyat semua juga keberatan. Kalau ada apa-apa, masyarakat ngeluhnya datang ke saya,” ujarnya.
Darma berharap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024, yang menjadi dasar kenaikan PBB, dapat dibatalkan.
"UUD saja bisa diubah dengan amandemen. Harusnya penghitungan kenaikan PBB itu wajar saja, sesuai kemampuan masyarakat dan NJOP. Kalau Perda ini masih ada, kebijakan seperti ini bisa muncul lagi,” kata dia.
Perjuangan Warga Sejak Awal 2024
Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati, mengatakan perjuangan warga melawan Perda Nomor 1 Tahun 2024 telah dimulai sejak Januari 2024.
Berbagai langkah sudah ditempuh, mulai dari hearing di DPRD pada 7 Mei 2024, aksi turun ke jalan pada 26 Juni 2024, hingga mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung pada 2 Agustus 2024. Namun, upaya tersebut ditolak pada Desember 2024.
Tak hanya itu, warga juga telah mengadu ke Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 15 Januari 2025.
“Semua keluhan sudah kami sampaikan, tapi sampai sekarang belum ada satu pun jawaban,” ujar Hetta.
Paguyuban membawa empat tuntutan utama:
1. Membatalkan Perda Nomor 1 Tahun 2024 dan mengembalikan tarif PBB seperti tahun 2023.
2. Menurunkan pejabat yang bertanggung jawab atas kebijakan ini.
3. Memberi waktu satu bulan kepada Wali Kota Cirebon untuk bertindak.
4. Mengimbau agar pajak tidak dijadikan sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hetta menjelaskan, kenaikan PBB di Kota Cirebon bervariasi antara 150 persen hingga 1.000 persen. Bahkan, ada kasus ekstrem kenaikan 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah, namun tetap dibebankan kepada warga.
“Orang itu sampai harus berutang ke bank. Apakah itu bijak?” ucapnya.
Ia menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal.
“Tahun 2023 kita baru selesai pandemi, apakah bijak dinaikkan hingga 1.000 persen? Pemerintah bilang ekonomi naik 10 persen, tapi dari mana? Dari titik nol?” ujar Hetta.
Hetta mencontohkan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang berhasil membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen.
"Kalau di Pati bisa, kenapa di Cirebon tidak? Kami akan terus berjuang sampai tuntutan ini dikabulkan," tegasnya.
Wali Kota Cirebon Bantah Kenaikan 1.000 Persen
Menanggapi keluhan warga, Wali Kota Cirebon Effendi Edo membantah bahwa kenaikan PBB mencapai 1.000 persen.
"Artinya 1.000 persen itu tidak benar. Kalau kenaikan ada, tapi tidak sampai 1.000 persen," kata Edo di Balai Kota, Kamis (14/8/2025).
Edo menjelaskan, kebijakan kenaikan pajak tersebut sudah ditetapkan sejak satu tahun lalu, sebelum ia menjabat sebagai wali kota. Ia yang baru lima bulan memimpin mengaku telah melakukan pembahasan internal sejak sebulan lalu untuk mencari solusi.
"Mudah-mudahan dalam minggu ini kita sudah tahu, dan formulasi yang kita buat itu sesuai dengan keinginan masyarakat. Artinya ada perubahan, Insya Allah," ujarnya.
Menurut Edo, formulasi kenaikan PBB berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang memberikan delapan opsi. Opsi tersebut kemudian dipadukan oleh Pemerintah Kota Cirebon, sehingga tarif bervariasi.
"Soal warga yang punya bukti PBB 2023 kemudian naik drastis di tahun berikutnya, monggo itu semuanya dari Depdagri," kata dia.
Ia juga menyebut, desakan warga untuk mengubah Perda harus melalui kajian mendalam.
"Kalau memang hasil evaluasi dan kajian menyatakan perlu diubah, ya tidak menutup kemungkinan. Saya terbuka sekali melakukan audiensi dengan masyarakat yang merasa terdampak," ujarnya.
Rencana Aksi Lanjutan
Selain Paguyuban Pelangi Cirebon, gelombang penolakan juga datang dari Paguyuban Masyarakat Cirebon (PAMACI). Mereka berencana menggelar aksi damai pada 11 September 2025 dan membuka posko partisipasi warga.
Ketua Harian PAMACI Kota Cirebon, Adji Priatna, berharap masyarakat bersatu menghadapi masalah ini.
"Semoga ini bisa berjalan dengan lancar dan saya hanya berharap masyarakat Cirebon bisa bersatu atau guyub dalam menghadapi permasalahan yang ada di Kota Cirebon," kata Adji.
Ia menilai Pemkot Cirebon terlalu fokus mengejar pendapatan dari pajak.
"Masih banyak sektor lain yang harus dibenahi, contoh lima BUMD kita, bobrok semua. Jadi itu yang mesti dipikirin dulu, jangan hanya pajak, pajak, dan pajak," ujarnya.
Sebagian Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Darma Warga Cirebon Kaget Tagihan PBB Capai Rp 65 Juta Imbas Kenaikan 1.000 Persen
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!