Plagiasi Berbeda dengan Inspirasi, Ini Kata Pakar Fashion

Fenomena plagiarisme desain masih marak di industri mode Indonesia.
Pakar Fashion dan Komunikasi, Dino Augusto, menegaskan bahwa publik perlu memahami perbedaan mendasar antara inspirasi dan plagiasi agar perkembangan kreativitas tidak terhambat.
Perbedaan plagiasi dan inspirasi
Menurut Dino, inspirasi adalah hal wajar dalam dunia kreatif. Sebab, dari inspirasi akan muncul sebuah inovasi.
Namun, inspirasi tidak berarti menyalin bulat-bulat karya orang lain.
“Kalau kemiripannya sampai 80 persen dengan satu produk tertentu, itu bukan lagi inspirasi, melainkan replikasi atau penjiplakan,” jelas Dino kepada Kompas.com, Kamis (21/8/2025).
Plagiasi masih dianggap lumrah
Fenomena terbaru terkait dugaan penjiplakan desain tas karya Peggy Hartanto menunjukkan bahwa plagiasi masih kerap dianggap hal biasa di kalangan pelaku industri.
Tas dengan ikon “love” terbalik yang awalnya dirancang Peggy, justru diproduksi ulang oleh sejumlah produsen lokal.
“Banyak pelaku usaha meniru karena melihat tren pasar. Mereka mengadopsi dari Pinterest, media sosial, atau influencer, tapi tidak tahu siapa desainer aslinya. Yang lebih parah, mereka tidak merasa itu salah atau tidak etis,” kata Dino.
Mengapa konsumen tetap membeli produk tiruan?
Produk tiruan kerap diminati karena harga lebih terjangkau. Namun, konsekuensinya besar, desainer kehilangan pengakuan sebagai pionir, sementara etika bisnis semakin tergerus.
“Dampak ekonomisnya jelas, desainer asli bisa kehilangan identitas sebagai inovator. Di sisi lain, budaya berbisnis jadi melonggarkan etika,” ungkap Dino.
Peran literasi etika karya
Dino menilai akar persoalan ini ada pada rendahnya literasi masyarakat terkait etika karya dan etika bisnis.
Minimnya pendidikan integritas membuat praktik menjiplak semakin dinormalisasi.
“Literasi etika bisnis masih sangat rendah. Akhirnya orang menganggap meniru adalah hal biasa,” ujarnya.
Upaya perlindungan untuk desainer
Salah satu cara yang bisa ditempuh desainer adalah mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Meski begitu, Dino mengingatkan tidak semua kasus bisa ditindak hukum, terutama jika desain tidak identik.
Menurutnya, membangun narasi brand yang kuat serta mengedukasi publik tentang pentingnya orisinalitas juga sama pentingnya.
“Pemberitaan dan narasi integritas brand penting supaya publik tahu siapa pemilik ide asli,” jelasnya.
Peran influencer dan media sosial
Dino juga menyoroti peran influencer yang kadang tanpa sadar ikut mempromosikan produk tiruan.
Edukasi publik melalui media sosial maupun pendidikan formal perlu terus digalakkan.
“Harus terus ada edukasi, baik lewat media sosial maupun pendidikan formal, tentang garis batas antara terinspirasi dan menjiplak. Bagaimana caranya menghargai karya harus disampaikan terus-menerus,” tutupnya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!