Menelusuri Asal Usul Gowok, Kamasutra dari Tanah Jawa

Gowok, Tradisi Gowok, gowok, Gowok Kamasutra Jawa, Gowok: Kamasutra Jawa, gowok adalah, apa itu gowok, tradisi gowok, tradisi gowokan, tradisi gowok banyumas, sejarah gowok, sejarah gowok jawa, sejarah Gowok banyumas, apa itu gowok kamasutra, apa itu gowok kamasutra jawa, apa itu gowok jawa, apa itu tradisi gowok, Menelusuri Asal Usul Gowok,  Kamasutra dari Tanah Jawa

Sutradara kenamaan Hanung Bramantyo kembali menggarap film bertema sejarah. Namun kali ini, Hanung tidak mengangkat kisah tokoh pahlawan nasional sebagaimana dalam karya-karyanya terdahulu.

Ia justru membidik sebuah tradisi unik dan kontroversial dari budaya Jawa, yaitu tradisi Gowok.

Tradisi ini pernah hidup di tengah masyarakat Jawa, khususnya di kalangan priyayi atau bangsawan Jawa, pada era 1930-an hingga 1960-an.

Hanung mencoba mengangkat kembali narasi sejarah yang jarang dibicarakan ini ke layar lebar, sebagai bagian dari upaya membuka ruang dialog mengenai seksualitas, pendidikan pernikahan, dan nilai-nilai budaya masa lalu.

Apa Itu Tradisi Gowok?

Tradisi Gowok merujuk pada sebuah praktik pendidikan seks tradisional di kalangan masyarakat Jawa yang ditujukan untuk anak laki-laki dari keluarga bangsawan.

Dalam tradisi ini, pemuda yang akan menikah akan dititipkan kepada seorang perempuan dewasa bernama gowok, yang bertugas memberikan pemahaman tentang hubungan seksual, peran suami dalam rumah tangga, dan cara memuaskan pasangan secara fisik dan emosional.

Gowok umumnya adalah perempuan berusia antara 23 hingga 30 tahun yang memiliki pemahaman mendalam tentang seksualitas dan kehidupan rumah tangga.

Tradisi ini dikenal dengan sebutan gowokan, yaitu proses pembelajaran langsung antara gowok dan calon pengantin pria.

“Tradisi ini didasari pada filosofi bahwa laki-laki adalah 'guru laki' atau kepala rumah tangga yang harus memiliki kemampuan mumpuni sebagai suami. Karena itu, sebelum menikah, calon suami perlu mendapatkan 'ilmu', terutama soal hubungan seksual, yang tentu tidak mungkin diajarkan oleh orang tua mereka sendiri,” tulis Dyah Siti Septiningsih, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dalam penelitiannya berjudul Gowokan, Persiapan Pernikahan Laki-laki Banyumas (Perspektif Etic dan Emic pada Kesejajaran dengan Praktek Prostitusi).

Proses Gowokan: Pendidikan Seks Tradisional di Masa Lalu

Menurut penelitian Dyah, praktik gowokan dilakukan setelah proses lamaran diterima dan tanggal pernikahan ditentukan oleh kedua pihak keluarga.

Setelah itu, keluarga calon pengantin laki-laki akan mencari dan memilih seorang gowok yang dianggap cocok untuk membimbing anak mereka.

Gowokan sendiri dilakukan secara langsung dan berlangsung selama beberapa hari, bahkan bisa mencapai satu minggu.

Dalam masa itu, gowok akan memberikan pengajaran seksual secara praktikal dan emosional, termasuk bagaimana cara bersikap terhadap istri, menghadapi malam pertama, dan membangun relasi intim yang sehat.

“Gowokan adalah bentuk pendidikan seks yang sangat vulgar, namun pernah benar-benar ada di Jawa,” ujar Ahmad Tohari, sastrawan asal Banyumas dalam sebuah catatan pada tahun 1982, yang dikutip oleh Dyah dalam penelitiannya.

Menurut Tohari, tujuan utama gowokan adalah memastikan bahwa pria tidak canggung di malam pertama dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk membimbing istrinya dalam hubungan seksual yang sehat dan memuaskan.

Tradisi Gowok dan Peran Perempuan

Gowok, yang dalam praktiknya kadang disamakan dengan profesi ronggeng—perempuan penghibur dalam budaya Jawa—sebenarnya memiliki peran sosial dan edukatif yang lebih kompleks.

Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi agen pendidikan yang membantu pria memahami peran mereka dalam rumah tangga secara lebih luas, termasuk dalam aspek biologis dan emosional.

Namun demikian, banyak pihak yang menyandingkan tradisi ini dengan praktik prostitusi terselubung, karena interaksi fisik yang dilakukan antara gowok dan calon pengantin pria.

Inilah yang menjadi dasar kritik dari sejumlah akademisi dan aktivis gender masa kini.

Seiring dengan perubahan zaman, masuknya nilai-nilai modern, serta semakin terbukanya akses terhadap pendidikan dan informasi seksual melalui media massa dan internet, praktik tradisi gowok atau gowokan kini nyaris punah.

Masyarakat modern lebih banyak mengandalkan pendidikan seksual formal di sekolah, konseling pranikah, atau bimbingan agama.

Namun, jejak budaya gowok masih menyisakan perdebatan dan refleksi. Tradisi ini menjadi cermin bagaimana masyarakat dahulu mempersiapkan pria dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Di sisi lain, muncul pula kritik bahwa pendidikan seperti ini hanya berfokus pada kesiapan biologis dan seksual laki-laki, tanpa menyertakan perspektif kesetaraan peran dalam rumah tangga.

Dalam teorinya, Sigmund Freud, yang dikutip oleh Roqieb (2007), menyebutkan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang lebih kuat karena faktor fisiologis. Teori ini banyak dijadikan rujukan dalam menjelaskan praktik seperti gowokan, meski kini dipandang perlu disikapi dengan perspektif gender yang lebih adil.