Ketika Sepak Bola Menjadi (Salah) Identitas

Sepak bola, Patrick Kluivert, Shin Tae-Yong, Ketika Sepak Bola Menjadi (Salah) Identitas

BILA ditanyakan kepada banyak orang, “Apa arti sepak bola?” Pasti jawabannya sangat beragam. Apalagi, perkembangan teknologi saat ini sungguh memengaruhi pola pola pikir dan cara kita menemukan kebahagiaan.

Kalau membuka buku-buku atau bacaan terkait sepak bola, olahraga si kulit bundar ini punya makna dan kekuatan luar biasa. Itulah sebabnya sepak bola pernah disebut sebagai olahraga paling populer dan berdampak pada masyarakat dunia.

Tokoh besar dunia asal India, Mahatma Gandhi, memakai sepak bola sebagai alat mempromosikan filosofi damai dan perubahan sosial. Termasuk interaksi sosial positif dan penyaluran energi komunitas anak muda India di Afrika Selatan.

Hingga kemudian ia berperan penting atas kehadiran federasi sepak bola India. Sepak bola ala Mahama Gandhi adalah olahraga pemersatu, tanpa membedakan warna kulit dan status sosial.

Dari Afrika Selatan pula, Nelson Mandela memakai olahraga rugbi dan sepak bola untuk menyatukan masyarakat di sana yang terpecah oleh politik diskriminasi apartheid (1948 hingga awal 1990-an).

Menjadi tahanan di penjara selama 27 tahun dibalas Mandela dengan aksi memaafkan dan rekonsiliasi nasional memanfaatkan popularitas rugby dan sepak bola.

Tak hanya itu, olahraga dipakai untuk menumbuhkan identitas nasional. Ada kebanggaan mengenakan seragam atau jersey tim nasional, entah itu di rugbi yang dikenal sebagai Springboks atau sepak bola (Bafana Bafana).

Identitas dan Kehidupan

Pindah ke Brasil, setelah era Perang Dunia II, sepak bola dijadikan alat untuk memulihkan dan membangun kehidupan masyarakat. Sepak bola menjadi salah satu jalan keluar dari kemiskinan.

Coba tebak, berapa banyak pesepak bola Brasil yang bermain di Indonesia?

Lalu, Kroasia menemukan cara untuk membangun kebanggaan masyarakatnya dan menyapa dunia lewat tim nasional sepak bola setelah melepaskan diri dari Yugoslavia pada Juni 1991.

Membentuk tim nasional yang kuat, setelah sebelumnya membela Yugoslavia, para pesepak bola Kroasia memukau dunia di Piala Eropa 1996 (perempat final, 1-2 vs Jerman) dan Piala Dunia 1998 (peringkat III, 2-1 vs Belanda).

Siapa yang lupa dengan identitas timnas Kroasia lewat jersey bercorak kotak-kotak warna biru, merah, dan putih?

Indonesia pun memakai sepak bola sebagai alat pemersatu. Bila mau membuka lembaran sejarah, kehadiran kompetisi usia dini Piala Soeratin adalah bentuk penghargaan bagi Soeratin Sosrosoegondo.

Lewat sepak bola, Soeratin mencoba membangun rasa kebersamaan dan antiterhadap penjajahan sebagai wujud Sumpah Pemuda. Ia berhasil menggandeng tokoh-tokoh sepak bola pribumi di sejumlah daerah. Bersatu lewat sepak bola.

Dampak teknologi

Sepak bola mengalami perkembangan pesat dan mencapai fase "tanpa batas". Pertandingan sepak bola di suatu negara sanggup menyita perhatian jutaan masyarakat di belahan dunia lain. Termasuk harus menonton saat dini hari.

Kemajuan teknologi ikut membantu posisi sepak bola sebagai olahraga terpopuler dan punya dampak besar bagi masyarakat dunia.

Diakui atau tidak, tontonan Piala Dunia 1998 di Perancis (Juni-Juli) ikut membantu meredakan kerusuhan Mei 1998 di Indonesia.

aksi Ronaldo, Zinedine Zidane, Davor Suker, hingga Michael Owen seolah mengobati luka-luka akibat tragedi mengerikan yang terjadi di sejumlah kota Indonesia.

Saya meyakini, pergelaran Piala Asia 2007 dan Piala AFF 2010 ikut berperan meruntuhkan "keakuan" penonton sepak bola Indonesia saat menyaksikan tim nasional bertanding di stadion.

Belajar dari saudara kita di Korea Selatan usai Piala Dunia 2002, warna-warni jersey klub tak lagi menyita perhatian di stadion saat Pasukan Garuda beraksi. Warna merah menjadi identitas bahwa masyarakat Indonesia bersatu mendukung tim nasionalnya.

Namun, perkembangan teknologi yang sungguh pesat ikut berdampak pada identitas dan arti sepak bola bagi banyak masyarakat Indonesia.

Bila dahulu saya sungguh menikmati semua berita-berita sepak bola dari media massa, kini tak sedikit pencinta sepak bola yang hanya mengikuti informasi dari klub yang ia dukung.

Mencintai Vs Membenci

Memasuki era 2000-an, identitas sepak bola diwujudkan dengan cara berbeda. Misal, cover Tabloid BOLA menampilkan pemain klub A, maka pendukung dari klub B, C, D dan yang lain menganggap Tabloid BOLA tak berpihak pada mereka dan memutuskan tidak membeli edisi tersebut.

Kalaupun mengikuti perkembangan klub lain kerap sekali dipakai untuk menjatuhkan atau menjelek-jelekkan tim lawan memaksimalkan keberadaan media sosial. Hal ini terjadi di banyak negara.

Pemain bertarung 90 menit di lapangan, pendukungnya bertarung tiada henti di media sosial. Usai laga pemain bersalaman dan berangkulan, kenapa para pendukung terus mengumbar permusuhan?

Entah dari mana datangnya kebahagiaan dan kepuasaan saat menjelek-jelekkan pemain dan klub pesaing. Apakah kecintaan itu harus diikuti kebencian?

Situasi tak jauh berbeda terjadi pada perkembangan tim nasional Indonesia saat ini. Dalam perbincangan dengan sejumah teman, ada sindiran yang menyebut alasan kenapa kita begitu lama dijajah.

"No wonder kita lama dijajah Belanda, wong masyarakat kita mudah sekali disetir dan emosinya dimanfaatkan oleh kepentingan sejumlah orang." Benarkah?

Katanya lagi, “Lihat saja pertarungan kubu Shin Tae-yong dan pendukung Patrick Kluivert.”

Kalau mau membuka mata lebar-lebar dan memahami situasi, rasanya fase "mabuk timnas" saat ini tak perlu membuat kita menyerang pihak lain yang tidak satu pendapat soal tim nasional. Bukankah kita mendukung tim yang sama?

Selain mereka yang memang menikmati sepak bola, masyarakat Indonesia kini punya identitas sebagai hakim: mendukung secara berlebihan Vs mengkritik berdalih punya alasan.

Adakah pihak yang sengaja menciptakan keadaan dan mengambil keuntungan?

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!