Subsidi Motor Listrik Belum Jelas, Para Pekerja Pabrik Dirumahkan

Hingga semester I/2025, kepastian mengenai kelanjutan subsidi motor listrik berbasis baterai belum juga muncul. Padahal, insentif ini sangat berpengaruh terhadap penjualan motor listrik di Tanah Air.
Di tengah ketidakpastian tersebut, muncul kabar bahwa beberapa industri motor listrik mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran sebagai langkah efisiensi pasca-hilangnya subsidi.
Menanggapi isu itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) Budi Setiyadi mengaku belum menerima laporan PHK dari para pelaku industri.
Namun, ia membenarkan adanya penurunan penjualan yang akhirnya membuat produksi harus dikurangi.
Ilustrasi pabrik motor listrik Tangkas
“Saya belum dapat informasi secara resmi dari industri bahwa mereka sedang mengurangi karyawan dan sebagainya. Tapi sekarang memang produksi sedang turun karena penjualan turun, otomatis supply juga turun,” kata Budi kepada Kompas.com, Rabu (2/7/2025).
Kondisi ini lantas memaksa pabrikan menyesuaikan diri agar tetap bisa bertahan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah merumahkan sementara sebagian pekerja.
“Kalau supply turun, semuanya harus efisiensi supaya sustain. Sementara itu, banyak perusahaan motor listrik sebetulnya kemitraan kerjanya sebagai tenaga partai. Jadi kalau produksinya naik lagi, mereka pasti dipanggil lagi,” ujarnya.
Namun menurut Budi, situasi ini berbeda dengan PHK permanen. Para pekerja hanya diliburkan sementara dan akan kembali bekerja jika permintaan membaik.
"Jadi menurut saya bukan PHK," ucap Budi.
Ilustrasi motor listrik Yamaha E01
Dalam industri pabrik, istilah tenaga partai merujuk pada pekerja lepas atau borongan yang dipekerjakan untuk menyelesaikan satu batch produksi tertentu, sesuai pesanan atau kebutuhan pabrik.
Pekerja tenaga partai tidak terikat sebagai karyawan tetap. Hubungan kerjanya bersifat fleksibel, menyesuaikan volume produksi. Jika permintaan naik, mereka dipanggil lagi. Sebaliknya, saat produksi menurun, mereka akan dirumahkan sementara.
Sistem ini banyak digunakan di industri padat karya seperti motor listrik, garmen, sepatu, hingga manufaktur komponen karena dinilai lebih efisien untuk menyesuaikan biaya operasional dengan kondisi pasar.
Sebelumnya, insentif subsidi motor listrik sebesar Rp 7 juta per unit sempat mendorong penjualan pada 2024. Namun, tanpa subsidi, penjualan menurun signifikan.
Menurut Aismoli, beberapa pabrikan kini hanya mampu menjual sekitar 300 unit per bulan, padahal sebelumnya bisa mencapai 1.000 unit hingga 2.000 unit per bulan.
Budi berharap pemerintah segera memberikan kepastian soal subsidi agar industri motor listrik tidak semakin tertekan.
"Kalau ada berita-berita seperti itu, pasarnya sensitif banget. Jadi orang yang tadinya mau beli, akhirnya nunggu dulu. Kalau nunggu tidak ada kepastian kan jadi agak stuck penjualannya karena konsumen menunggu bantuan pembelian ini,” ujarnya.