Terpal Jadi Atap Sekolah di Tengah Konflik Lahan TNTN: Siswa Menangis saat Hari Pertama Masuk SD

anak sekolah dasar, kebun sawit, hari pertama masuk SD, TNTN, Taman Nasional Tesso Nilo, tntn, hari pertama masuk sd, Terpal Jadi Atap Sekolah di Tengah Konflik Lahan TNTN: Siswa Menangis saat Hari Pertama Masuk SD

Sebuah video yang viral di media sosial pada Senin (14/7/2025) memperlihatkan pemandangan memilukan saat puluhan anak sekolah dasar (SD) dari Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, belajar di tengah kebun sawit.

Tanpa ruang kelas, tanpa meja dan kursi, mereka duduk melingkar di atas terpal plastik, beralaskan tanah dan hanya beratapkan pelepah daun di hari pertama masuk SD.

Seorang guru perempuan tampak berusaha mengajar mereka di bawah terik matahari, sementara beberapa anak terlihat mengipas tubuh dengan topi sekolah.

"Anak-anak ini siswa baru sekolah dasar, jumlahnya ada 58 orang. Hari pertama mereka masuk sekolah. Tapi, ya mereka terpaksa belajar di tanah di dalam kebun sawit, seperti yang terlihat dalam video viral itu," kata Abdul Aziz, juru bicara warga TNTN, saat dihubungi Kompas.com.

Apa Penyebab Mereka Tidak Bisa Sekolah di Gedung?

Masalah bermula dari penyitaan lahan oleh pemerintah, yang menyatakan kawasan tersebut masuk dalam wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

SD 20 Dusun Toro Jaya, yang sebelumnya menjadi tempat belajar anak-anak, kini tidak diperbolehkan menerima murid baru. Alasannya, sekolah itu berdiri di atas lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan.

"Padahal, SD 20 itu dulunya kelas jauh dari SD Negeri 003 Desa Lubuk Kembang Bunga dan baru resmi berstatus negeri pada September 2024. Namun sejak penyitaan lahan, sekolah dilarang menerima siswa baru," jelas Aziz.

Sementara siswa kelas dua hingga enam masih diizinkan bersekolah, siswa baru diminta pindah ke SD induk yang jaraknya sekitar dua jam perjalanan dari dusun.

"Tapi jarak tempuh dari Dusun Toro Jaya ke sekolah itu sekitar 2 jam. Jadi, tak mungkin orangtua mengantar anaknya sejauh itu," tambahnya.

Apa Solusi Sementara yang Dilakukan Warga?

Tidak ingin anak-anak kehilangan hak pendidikan, warga berinisiatif membangun tenda darurat dari terpal di luar kawasan TNTN.

Mereka pun meminta seorang guru untuk secara sukarela mengajar anak-anak di lokasi tersebut.

"Ibu-ibu banyak yang menangis, kok bisa sampai seperti ini. Ini seperti zona perang yang tak ada ampun. Tidak ada toleransi, tidak ada solusi," kata Aziz.

Di hari pertama sekolah, anak-anak diberikan pemahaman tentang situasi yang mereka alami.

"Mereka kan bertanya kenapa sekolahnya begini, dijelasinlah sama gurunya. Banyak yang nangis jadinya, anak-anak dan ibunya," ucap Aziz.

Hingga kini, belum ada solusi konkret dari pemerintah. Warga diminta untuk relokasi mandiri, namun banyak yang menolak karena merasa lahan yang mereka garap dibeli secara sah.

Akibatnya, ribuan warga tetap bertahan dan anak-anak mereka pun terdampak, termasuk dalam hal pendidikan.

Aziz berharap ada solusi dari pemerintah agar anak-anak tidak menjadi korban dari konflik lahan ini.

"Hukuman kepada orangtuanya itu, sawit yang tak laku lagi. Tapi kenapa anaknya harus menderita juga?" ujarnya.

Untuk hari kedua, warga memindahkan kegiatan belajar ke sebuah musala yang berada di luar kawasan TNTN.

"Yang penting tidak dalam kawasan TNTN," pungkas Aziz.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "".