Masuk SD Negeri, Ibu di Pamulang Kaget Harus Bayar Uang Seragam Rp 2,2 Juta ke Rekening Kepsek

SD Negeri, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, seragam sekolah, tangerang selatan, pungutan liar, Masuk SD Negeri, Ibu di Pamulang Kaget Harus Bayar Uang Seragam Rp 2,2 Juta ke Rekening Kepsek

— Di balik senyumnya yang letih, Nur Febri Susanti (38) menyimpan kegundahan yang tak mudah diungkapkan.

Bukan soal makan sehari-hari yang pas-pasan, tapi tentang masa depan kedua anaknya yang terancam putus sekolah hanya karena seragam.

Nur, seorang ibu dari keluarga sederhana, baru saja memindahkan dua anaknya dari Jakarta ke SD Negeri Ciledug Barat, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.

Sang kakak kini duduk di kelas lima, sedangkan adiknya di kelas dua.

Rp 2,2 Juta untuk Seragam, Tidak Bisa Dicicil

Harapan besar sempat terpatri di hati Nur, anak-anaknya akan memulai tahun ajaran baru penuh semangat.

Namun, harapan itu mendadak patah ketika yang menyambutnya justru daftar biaya seragam yang tak terjangkau.

“Saya kaget waktu kepala sekolah langsung bilang biayanya Rp 1,1 juta per anak, untuk baju batik, muslim, olahraga, dan buku paket. Saya tanya bisa dicicil atau tidak, jawabannya 'kalau bisa jangan dicicil, kasihan anaknya nanti beda sendiri dari teman-temannya',” cerita Nur, Selasa (16/7/2025), suaranya pelan.

Bagi keluarga yang menggantungkan hidup dari penghasilan suami sebagai tukang parkir, biaya Rp 2,2 juta bukanlah nominal kecil.

Nur yang biasa berhemat demi sekantong beras atau sepotong lauk merasa bingung, sejak kapan sekolah negeri yang katanya gratis membebani orangtua sebesar ini hanya untuk seragam?

“Saya sempat buka media sosial dan baca sekolah negeri itu gratis. Tapi ini kok mahal ya, hanya untuk seragam. Saya pikir ada yang tidak sesuai,” ucapnya heran.

Transfer ke Rekening Pribadi Kepala Sekolah

Masalah tak berhenti di situ. Nur mengaku diminta mentransfer uang itu langsung ke rekening pribadi kepala sekolah, bukan ke rekening sekolah atau koperasi.

“Rekeningnya (pembayaran seragam) itu atas nama pribadi (kepala sekolah), bukan (koperasi) sekolah. Lalu saya sampaikan di media sosial, saya malah ditegur dengan nada tinggi oleh kepala sekolah,” sambung Nur lirih.

Tak hanya soal uang, Nur juga dibuat bingung dengan status anaknya.

Meski sudah memegang surat penerimaan tertanggal 11 Juli 2025, kepala sekolah sempat mengatakan kedua anaknya tidak diterima karena alasan administrasi.

“Awalnya itu dibilang anak saya tidak diterima, karena alasan administrasi, saya disuruh cari sekolah lain, padahal surat penerimaan sudah ada. Jadi sudah tiga hari masa MPLS ini belum masuk (sekolah),” tambahnya dengan suara getir.

Disdik Turun Tangan, Tak Ada Pungutan, Tak Ada Paksaan

Kisah Nur akhirnya sampai ke telinga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan.

Kepala Bidang Pembinaan SD, Didin Sihabudin, langsung menegaskan bahwa sekolah negeri tidak boleh menarik pungutan apa pun.

“Prinsipnya, tidak dibolehkan pungutan seperti yang disebutkan tadi, apalagi itu ke rekening pribadi. Kami sudah membuat surat edaran yang melarang iuran-iuran. Sekolah negeri difasilitasi,” kata Didin saat dikonfirmasi Kompas.com.

Didin memastikan pihaknya sudah memanggil kepala sekolah terkait untuk dimintai klarifikasi.

“Dinas pendidikan hari ini sudah membuat surat panggilan dan akan melakukan pembinaan serta pemeriksaan terhadap kepala sekolah. Kami pastikan, insya Allah, tidak ada pungutan bagi anak-anak yang pindah sekolah,” ujarnya.

Bahkan, menurut Didin, siswa pindahan diperbolehkan memakai seragam lama.

“Dipastikan tidak boleh ada paksaan beli seragam baru. Silakan pakai seragam lama, dan kami juga pastikan tidak ada intimidasi atau bullying. Kami punya satgas baik di sekolah maupun di dinas,” tegasnya.

Bagi Nur, lebih dari sekadar seragam atau uang, yang diinginkannya sederhana, yakni agar anak-anaknya bisa bersekolah tanpa khawatir, tanpa merasa berbeda hanya karena orangtuanya tak mampu membeli seragam baru.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul .