Bukan Cuma Nonaktif, Ahmad Sahroni Hingga Deddy Sitorus Dinilai Harus Dipecat dari DPR

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyoroti langkah beberapa parpol yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR, buntut kontroversi pernyataan yang dianggap menjadi penyebab unjuk rasa belakangan ini.
Sejumlah partai yang mengambil langkah itu adalah NasDem terhadap Ahmad Sahroni serta Nafa Urbach, lalu PAN yang menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, serta Golkar yang juga mengambil langkah serupa untuk Adies Kadir. Kemudian, ada juga Anggota Fraksi PDI-Perjuangan Deddy Sitorus yang belum menerima sanksi dari partai.
“Keputusan partai-partai itu tentu saja baik sebagai respons atas tuntutan publik yang mengkritik pernyataan dan sikap tidak pantas sejumlah anggota DPR itu terkait tunjangan DPR,” kata Lucius Ketua Formappi, Lucius Karus, dikutip Senin, 1 September 2025.

Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus
Lucius menekankan, istilah nonaktif yang dipakai partai justru menimbulkan masalah baru. Pasalnya, kata dia, dalam Undang-Undang MD3 tidak dikenal istilah penonaktifan anggota DPR.
“Istilah nonaktif ini bukan kata yang dipakai UU MD3 untuk menyebutkan alasan yang bisa digunakan DPR untuk memproses penggantian anggota DPR (PAW),” kata dia.
Dirinya menjelaskan, UU MD3 hanya mengatur tiga alasan seorang anggota DPR bisa diberhentikan, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Karena itu, lanjut dia, penonaktifan tak bisa dibaca sebagai sanksi resmi partai terhadap kadernya.
“Nampaknya partai tak cukup berani untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan kader-kader mereka, yang memicu kemarahan publik,” ucap Lucius.
Menurut dia, pilihan kata nonaktif justru menggambarkan kegamangan parpol untuk mengambil sikap tegas. Dia mengatakan, langkah itu lebih sebagai strategi menenangkan publik sementara, sembari menunggu situasi mereda.
“Oleh karena itu, keputusan parpol atas Eko, Sahroni Cs lebih nampak sebagai strategi untuk menenangkan publik sementara waktu sembari melihat perkembangan selanjutnya untuk memastikan sanksi terhadap kader-kader mereka,” ujar Lucius.
Kata Lucius, dengan status nonaktif itu, anggota DPR bersangkutan tetap berhak menerima gaji dan tunjangan meski tak bekerja menjalankan fungsi legislatif. Hal tersebut dikhawatirkan justru memunculkan kemarahan publik gelombang kedua.
“Ketika partai membuat keputusan yang ragu-ragu dengan menggunakan istilah non aktif, maka tunjangan yang jadi akar masalah munculnya aksi massa, masih akan diterima oleh kader-kader non aktif ini,” ucapnya.
Karena itu, Formappi mendesak partai politik mengambil langkah tegas dengan melakukan pemberhentian antar waktu (PAW) terhadap kader yang sudah menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
“Harusnya partai tegas saja sih agar tak ada lagi diskusi setelah ini yang memungkinkan situasi menjadi tidak kondusif lagi,” kata Lucius.
Ia juga mengingatkan, penggunaan istilah nonaktif bisa saja cuma jadi jeda waktu untuk mengembalikan kader bermasalah itu ketika situasi sudah tenang.
“Kalau parpol ngga merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kadernya, ya maka istilah non aktif ini bisa jadi hanya berarti jeda waktu untuk menenangkan massa di satu sisi, dan di sisi lain untuk mempersiapkan kembalinya kader-kader itu jika publik sudah tenang kembali,” kata Lucius lagi.