4 Anggota DPR Dinonaktifkan, Apakah Sama dengan Dipecat?

dipecat, Nafa Urbach, anggota dpr, Eko Patrio, Uya Kuya, dinonaktifkan, Ahmad Sahroni, 4 Anggota DPR Dinonaktifkan, Apakah Sama dengan Dipecat?

Partai NasDem resmi menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari kursi DPR RI periode 2024–2029.

Keputusan itu diumumkan langsung oleh Sekretaris Jenderal NasDem, Hermawi Taslim, pada Minggu (31/8/2025).

Langkah serupa juga diambil Partai Amanat Nasional (PAN). Melalui pernyataan Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, partai tersebut mencopot Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya dari keanggotaan DPR RI.

Menurut keterangan resmi, keempat nama tersebut efektif dinonaktifkan mulai 1 September 2025. Alasan pencopotan tak lain karena pernyataan mereka yang dianggap telah "mencederai perasaan rakyat" terkait dengan isu kenaikan tunjangan anggota DPR.

“Bahwa dalam perjalanan mengemban aspirasi masyarakat ternyata ada pernyataan daripada wakil rakyat, khususnya Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem yang telah menyinggung dan mencederai perasaan rakyat, dan hal tersebut merupakan penyimpangan terhadap perjuangan Partai NasDem,” ujar Hermawi di Jakarta, Minggu (31/8).

Status dan Hak Keuangan

Meski dinonaktifkan, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya tidak otomatis kehilangan statusnya sebagai anggota DPR. Mereka masih tercatat sebagai anggota dewan aktif.

Hal ini berarti mereka tetap berhak menerima gaji serta fasilitas keuangan lainnya. Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang menyebut: “Anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Hak tersebut tidak hanya berupa gaji pokok, melainkan juga berbagai tunjangan. Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, tunjangan yang dimaksud meliputi tunjangan istri/suami, anak, jabatan, kehormatan, komunikasi, hingga tunjangan beras.

Selain itu, mengacu pada Surat Sekjen DPR No. B/733/RT.01/09/2024, anggota DPR periode 2024–2029 memperoleh tunjangan rumah, mengingat mereka sudah tidak lagi difasilitasi dengan rumah jabatan.

Polemik Istilah “Nonaktif”

Meski keputusan penonaktifan sudah diumumkan, istilah “nonaktif” sendiri memunculkan perdebatan di publik. Istilah tersebut dianggap abu-abu karena bisa menimbulkan tafsir bahwa anggota DPR yang dinonaktifkan masih berpeluang kembali aktif.

Tak hanya ramai dibahas warganet di media sosial, isu ini juga menjadi perhatian para politikus dan pengamat.

Dikutip dari siaran Kompas Petang Kompas TV via YouTube, Minggu (31/8), mantan anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem periode 2014–2019, Zulfan Lindan, serta Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya (Toto), turut memberikan pandangannya.

Menurut Zulfan, keputusan parpol menonaktifkan kadernya belum mencerminkan tindakan tegas.

“Pertama, itu kan kalau kata-kata nonaktif kan satu saat bisa aktif lagi kan? Jadi sebenarnya (solusinya -red) bukan nonaktif. Kalau perlu dipecat, bukan hanya dari DPR, dari keanggotaan partai. Karena saya kira sudah keterlaluan ya apa yang dilakukan itu, dan efeknya ke mana-mana kan,” ujar Zulfan.

Ia menyebut penonaktifan hanya dilakukan karena partai ketakutan didemo massa, bukan karena kesadaran penuh.

“Kalau sekedar nonaktif saya kira itu masih ecek-ecek lah ya. Karena partai takut dari ancaman-ancaman massa, kan gitu. Jadi kalau memang mau serius ya diberhentikan betul. Dicabut keanggotaan partainya dulu,” imbuhnya.

Perlu Kesadaran, Bukan Keterpaksaan

Senada, Yunarto Wijaya menilai istilah “nonaktif” tidak tepat jika hanya dipakai untuk meredam kemarahan publik.

“Saya merasa seharusnya yang tepat bukan istilah itu (nonaktif -red). Harusnya dimulai dari kesadaran. Kalau hanya sebatas pada meredam kemarahan publik, artinya kan ini keterpaksaan. Artinya kan ini hanya karena kebetulan viral,” ujarnya.

Toto menegaskan, membiarkan kader bermasalah tanpa sanksi tegas berpotensi membahayakan.

“Jadi jangan-jangan partai selama ini sudah tahu kelakuan buruknya beberapa kadernya, beberapa anggotanya, tapi selama tidak viral ya enggak apa-apa. Nah, ini yang berbahaya,” katanya.

Menanggapi hal itu, Zulfan mengakui lemahnya kontrol partai terhadap kadernya.

“Saya kira memang selama ini kan kontrol partai terhadap anggotanya itu kan lemah. Artinya, secara kualitatif maupun secara kuantitatif, apalagi kualitatif,” ucapnya.

Meski mengkritisi, Toto tetap mengapresiasi langkah cepat parpol. Namun, ia menilai perlu ada tindak lanjut yang lebih konkret, termasuk perubahan aturan internal partai agar kejadian serupa tak terulang.

“Ada perubahan sistem nggak? Ada perubahan aturan nggak? Mereka nanti memberikan laporan nggak? Absensi, memberikan laporan enggak tentang dana reses? Kalau partai memang niat, partai bisa menjadi wadah untuk kemudian membuat aturan-aturan baru yang kemudian membuat masyarakat bisa percaya bahwa memang ada perubahan di situ,” jelasnya.

Toto juga menambahkan, kemarahan publik sebenarnya tidak hanya muncul di lembaga legislatif, melainkan juga akibat berbagai kebijakan kontroversial di level eksekutif.

“Ketika ingin menyampaikan saran dan masukan (tidak bisa melakukannya -red), karena anggota DPR nggak menjalankan fungsi pengawasannya. Kenapa? Karena sudah deal ketumnya dengan presiden. Kenapa? Karena sudah dibagi jatah menteri. Pada titik itu, semua akan menjadi mandul,” tegasnya.

Menurutnya, momentum ini seharusnya bisa dimanfaatkan partai untuk memperbaiki sistem dan membangun kepercayaan publik.

“Kita akan lihat ke depan apakah memang akan terjadi sebuah perubahan di situ,” pungkas Toto.

Artikel ini telah tayang di KompasTV dengan judul Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya Dinonaktifkan dari DPR, Masih Dapat Gaji-Tunjangan?

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Pengamat Politik Soal Anggota DPR yang Dinonaktifkan Partai: Kalau Mau Serius Ya Diberhentikan!