Begini Cara Memecat Anggota DPR yang Tidak Sesuai Harapan Rakyat!

Situasi di sejumlah wilayah Indonesia semakin memanas akibat pernyataan kontroversial beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demonstrasi awal yang dimulai dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah dan sikap tidak peka anggota DPR berubah menjadi aksi anarki, termasuk pembakaran fasilitas umum hingga penjarahan. Tragisnya, insiden ini menyebabkan korban jiwa, seperti ojek online Affan Kurniawan dan tiga orang lainnya di Makassar, Sulawesi Selatan.
Pertanyaan besar muncul: Apakah anggota DPR yang dinilai bermasalah bisa diberhentikan? Jawabannya adalah Ya, tetapi prosesnya harus mengikuti jalur dan mekanisme resmi yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang MD3 (UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD).
Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai jalur dan mekanisme pemberhentian anggota DPR.
Jalur Pertama: Melalui Partai Politik Pengusung
Anggota DPR dipilih melalui mekanisme pemilu dengan dukungan partai politik. Oleh karena itu, partai politik memiliki hak untuk memberhentikan atau mengganti anggotanya melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Ada beberapa alasan yang dapat membuat seorang anggota DPR diberhentikan oleh partainya, antara lain:
- Meninggal Dunia: Jika anggota DPR meninggal dunia, kursinya langsung kosong dan akan diisi melalui PAW.
- Mengundurkan Diri: Anggota DPR dapat mengundurkan diri secara sukarela.
- Pelanggaran Aturan Internal: Partai politik berwenang memberhentikan anggotanya jika terbukti melanggar aturan internal.
- Pidana dengan Ancaman Minimal 5 Tahun Penjara: Jika anggota DPR terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara, partai dapat mengambil tindakan pemberhentian.
Hal ini juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 008/PUU-IV/2006, yang menegaskan bahwa kursi DPR adalah milik partai politik, bukan individu.
Jalur Kedua: Proses Hukum dan Etik
Selain melalui partai politik, anggota DPR juga dapat diberhentikan melalui dua jalur lain, yaitu proses hukum dan sanksi etik.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD):
- MKD DPR RI memiliki wewenang untuk memberikan sanksi kepada anggota DPR yang melanggar kode etik.
- Sanksi paling berat yang dapat diberikan adalah usulan pemberhentian kepada pimpinan DPR. Usulan ini
- kemudian disampaikan kepada partai politik terkait untuk dilanjutkan dengan prosedur pemberhentian.
Putusan Pengadilan:
- Jika seorang anggota DPR terbukti bersalah atas tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara dan putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, maka partai politik dapat mengambil langkah pemberhentian sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Contoh Kasus Terbaru: NasDem dan PAN Nonaktifkan Anggotanya
Sebagai contoh nyata, pada hari ini (31 Agustus 2025), Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Amanat Nasional (PAN) telah menonaktifkan empat anggotanya yang dinilai tidak peka terhadap aspirasi rakyat. Keempat anggota tersebut adalah:
- Ahmad Sahroni (NasDem)
- Nafa Urbach (NasDem)
- Eko Patrio (PAN)
- Uya Kuya (PAN)
Keempat anggota DPR ini dilaporkan melontarkan pernyataan kontroversial yang dianggap arogan terkait protes tunjangan anggota DPR. Pernyataan mereka memicu demonstrasi besar-besaran pada Senin (25/8) dan Kamis (28/8), yang berujung pada kerusuhan dan korban jiwa di beberapa daerah, termasuk Makassar, Sulawesi Selatan.
Langkah nonaktifkan ini merupakan bagian dari upaya partai politik untuk menjaga integritas institusi DPR dan meredam kemarahan publik.
Kesimpulan:
Anggota DPR dapat diberhentikan melalui dua jalur utama, yakni melalui partai politik pengusung dengan mekanisme PAW atau melalui proses hukum dan etik melalui MKD dan putusan pengadilan. Partai politik memiliki peran penting dalam menjaga kualitas representasi anggota DPR, sementara proses hukum memastikan bahwa pelanggaran serius mendapatkan sanksi yang tepat.