Pabrikan Mobil Listrik Cina Diprediksi Banyak yang Rontok di 2030
Pabrikan mobil listrik Cina sedang ramai menyerbu pasar kendaraan roda empat di berbagai negara. Mulai dari Asia sampai ke daratan Eropa.
Mereka menawarkan berbagai Electric Vehicle (EV) kepada para konsumen. Membuat penjualan perusahaan asal Tiongkok tersebut melejit.
Seperti diberitakan KatadataOTO sebelumnya, pabrikan mobil listrik Cina mendominasi sampai 76 persen pangsa pasar global.
Eropa digadang-gadang menjadi salah satu tujuan banyak manufaktur Tiongkok untuk menjual tidak hanya EV namun juga hybrid model Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV).

Akan tetapi menurut laporan Reuter baru-baru ini, disebut bakal banyak produsen kendaraan roda empat setrum asal Negeri Tirai Bambu yang bangkrut.
“Hanya 15 dari 129 brand yang saat ini menjual kendaraan listrik dan PHEV di Tiongkok yang akan kuat secara finansial di 2030,” tulis media daring itu, Senin (07/07).
Di dalam berita tersebut konsultan AlixPartners mengatakan ketatnya persaingan membuat sejumlah pabrikan kehabisan nafas.
Sehingga mereka tidak bisa bertahan dan terus berjualan EV maupun PHEV kepada para konsumen di sejumlah lokasi.
Lebih jauh AlixPartners mengatakan kalau ke-15 merek yang bertahan bakal menguasai sekitar 75 persen pangsa pasar mobil listrik serta PEHV di Tiongkok pada 2030.
“Masing-masing mencatat penjualan tahunan rata-rata 1,02 juta kendaraan,” lanjut mereka.
Sayang AlixPartners tidak menyebutkan secara rinci merek mana saja yang mampu tetap bertahan di akhir dekade ini.
Perang Harga Jadi Biang Kerok
Di sisi lain disebutkan terdapat sejumlah faktor, kenapa akan ada banyak pabrikan mobil listrik yang berjatuhan di 2030.
Satu di antaranya praktik perang harga. Membuat persaingan antara manufaktur semakin tidak sehat.
“Cina merupakan salah satu pasar NEV (New Energy Vehicle) paling kompetitif di dunia dengan sengitnya perang harga, inovasi yang pesat serta pendatang baru yang terus meningkatkan standar,” ucap Stephen Dyer, head of AlixPartners Automotive Practice Asia.

Fenomena perang harga disebut-sebut membawa banyak dampak negatif ketimbang efek positif kepada manufaktur.
Ditambah isu kelebihan kapasitas produksi juga turut digadang-gadang menjadi biang kerok rusaknya industri EV di Tiongkok.
“Kondisi ini telah mendorong kemajuan luar biasa dalam hal teknologi maupun efisiensi biaya. Tetapi membuat banyak perusahaan kesulitan mencapai profitabilitas berkelanjutan,” Dyer menutup perkataannya.