Gedung DPRD DKI Jakarta Digeruduk Demonstran, Tuntut Transparansi hingga Akuntabilitas Pengelolaan Anggaran Publik

Sejumlah massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Sosial dan Demokrasi (AMPSI) menggeruduk gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Kamis (4/9).
Tujuan mereka sebagai bentuk kepedulian terhadap transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik di DKI Jakarta.
AMPSI menilai bahwa praktik pengelolaan keuangan di tubuh DPRD DKI Jakarta maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) masih jauh dari prinsip keterbukaan, efisiensi, serta keberpihakan pada rakyat.
"Fakta di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan yang mencolok, terutama terkait besaran gaji dan tunjangan anggota DPRD DKI yang bahkan dinilai lebih besar dari pada DPR RI," kata orator aksi massa.
Aksi ini menuntut soal tunjangan dan gaji DPRD DKI yang menjadi sorotan publik. Beberapa media menyoroti fakta bahwa gaji serta tunjangan anggota DPRD DKI disebut-sebut lebih besar dibandingkan DPR RI, meskipun beban kerja legislatif nasional jauh lebih berat.
Dalam negara demokrasi, sambung orator demonstran, pejabat publik seharusnya mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan mengutamakan kepentingan pribadi maupun kelompok.
Diketahui, besaran tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022. Kepgub ini diteken oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dalam Kepgub 415/2022, ditetapkan bahwa tunjangan perumahan untuk pimpinan DPRD DKI Jakarta sebesar Rp 78,8 juta per bulan yang termasuk pajak.
Sementara, tunjangan perumahan untuk anggota DPRD DKI Jakarta sebesar Rp 70,4 juta termasuk pajak tiap bulannya. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai keadilan dan proporsionalitas penggunaan APBD.
Hal ini memicu kritik keras, sebab DPR RI sebagai lembaga legislatif pusat justru menerima penghasilan yang lebih rendah.
Selain itu, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan adanya sejumlah persoalan dalam laporan keuangan beberapa BUMD DKI Jakarta, seperti Pasar Jaya dan PAM Jaya yang dinilai tidak efisien, serta persoalan PAM Jaya yang berkaitan dengan kontrak kerja sama dan kualitas layanan publik.
"Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan publik terhadap lembaga daerah yang mengelola dana triliunan rupiah," pungkas orator aksi massa. (Asp)